Aku dan COVID-19

Riwa
Chapter #1

Bab 1

Suara kokok ayam dan suara babi menguik terdengar dari bawah rumah. Yah, maklumlah, kami memelihara babi-babi itu di bawah rumah. Dan tentang ayam-ayam itu, aku tidak tahu bagaimana mereka bisa berada di sana. Mungkin mereka tidur di sana semalam, bukan di pagar kandang kerbau, tempat biasa mereka tidur.

Sekedar informasi, aku tinggal di desa kecil bernama Makamenggit, yang terletak di kecamatan Nggaha Ori Angu, salah satu kecamatan di kabupaten Sumba Timur, profinsi Nusa Tenggara Timur. Di sini rumah-rumah biasa dibangun model rumah panggung, dan di bawah rumah, masyarakat biasa mengikat babi-babi peliharaan mereka. Jadi, terbangun karena suara babi menguik sudah biasa di sini.

Merasa tidurku terganggu, dengan jengkel aku menendang kain tipis yang kupakai sebagai selimut, lalu meringis keras saat kakiku tidak sengaja menendang peti kayu kecil yang kupakai untuk menyimpan buku.

“Irma!” suara cempreng ibuku terdengar dari bawah rumah.

Aku mengigit bibir menahan sakit dan berusaha untuk tidak mengumpat dalam hati.

“Bangun sudah! Kasih makan babi!” suara ibu terdengar lagi dan terpaksa aku menjawab, “Iya!” sebelum ibuku mengomel. Jika dibiarkan, ibuku bisa mengomel sepanjang hari.

Aku melipat kain, menggulung tikar pandan yang kupakai tidur dan menyimpannya dengan rapi di bawah jendela. Kamarku berukuran kecil dan tak ada perabotnya, kecuali peti kayu kecil tempatku menyimpan buku dan sebuah peti besar tempatku menyimpan pakaian. Di atas peti kecil ada gelas retak yang kupakai untuk menyimpan alat tulis, sementara di atas peti besar ada tas sekolahku.

Aku mendesah. Yah, keadaan di sini bisa dibilang sangat sederhana. Tak ada tempat tidur, atau meja, atau kursi di seluruh rumah. Yang ada hanya sebuah lemari tempat menyimpan makanan di dapur dan sebuah lemari pakaian besar di kamar orangtuaku. Semua kegiatan kami lakukan di lantai rumah yang terbuat dari kayu.

“Irma!” suara ibu terdengar lagi, kali ini terdengar tak sabar.

“Iya!” teriakku keras, dan bergegas keluar rumah.

Ibuku sedang mengaduk sesuatu yang tampaknya adalah campuran antara dedak padi, sisa nasi semalam dan air, di dalam ember besar hitam yang sudah tak karuan bentuknya. Dia mengenakan kaos berwarna cokelat dengan sarung berwarna biru gelap yang sudah usang. Ibuku berumur 37 tahun Oktober nanti, masih cukup muda, meskipun kerja keras dan kelelahan membuatnya kelihatan seolah berumur 47 tahun.

Sementara tangannya mengaduk campuran, dia memandangku dengan tajam. “Tadi malam pulang jam berapa?”

“Hmmm…” Aku bergumam dan berusaha untuk tidak memandang wajah ibuku.

“Kau pulang pagi?”

“Siapa yang pulang pagi? Kami pulang jam 11, kok!” Dengan cepat aku membantah.

“Dan kau ajak Hendra juga? Pantas saja dia belum bangun. HENDRA!” Ibuku berteriak keras sambil mengibaskan tangannya yang kotor oleh campuran dedak.

Aku melompat menghindari campuran dedak yang beterbangan dan ibuku menatapku dengan tajam. “Kau ini, Irma, mama sudah bilang anak perempuan itu tidak boleh keluar malam-malam. Kalau ada apa-apa di jalan bagaimana? Di depan kios Mama Ningsih itu banyak orang mabuk. Kau tidak takut mereka bikin apa-apa sama kau?”

Aku menunduk menatap campuran dedak dalam ember. Yah, semalam aku memang pergi ke rumah Pak Amir untuk nonton TV, karena TV di rumah kepala desa rusak. Pak Amir adalah seorang pegawai kecamatan dan rumahnya berjarak cukup jauh dari rumahku, sementara rumah kepala desa tepat berada di sebelah rumahku. Walaupun rumah Pak Amir jauh, aku tetap pergi ke sana karena tak ingin melewatkan sinetron malam yang biasa kutonton.

“Aii, ini anak perempuan! Sudah lulus SMA, tapi kelakuan kayak anak-anak. Tidak mau dengar orangtua omong. Kau ini mau cepat kawin? Mau cari suami sudah? Baik sudah, kau cari suami sudah—”

“Saya mau kasih makan babi,” kataku cepat-cepat, tak ingin mendengar ocehan ibuku yang topiknya bisa kemana-mana.

“—kita bisa dapat hewan kalau kau mau kawin… Itu Joni, anaknya kau punya Om Deni juga sudah lulus SMA… Dia—”

 Mengabaikan ibuku, aku mengangkat ember hitam berisi campuran dedak dan berjalan menuju dua ekor babi yang diikat di salah satu tiang rumah. Aku menuang campuran dedak dalam karaba (tempat makan babi), yang terbuat dari kayu berbentuk persegi panjang, dan kedua babi itu berebutan makan sambil mengeluarkan bunyi decap mengalahkan suara omelan ibuku.

Berbicara tentang kawin, di Sumba sini, laki-laki melamar perempuan dengan membawa mahar berupa hewan besar, seperti kuda, sapi atau kerbau. Kalau orangtuaku ingin mengawinkan aku, maka mereka akan menerima hewan. Dulu saat belum ada SMP dan SMA di kampung sini, anak-anak perempuan sudah dinikahkan saat lulus SD, sementara anak laki-laki dikirim ke kota Waingapu agar bisa melanjutkan pendidikan. Sekarang ini, saat jaman semakin maju dan sudah dibangun SMP dan SMA, juga dengan program pemerintah yang menggratiskan sekolah, maka sudah banyak anak-anak perempuan yang bisa bersekolah sampai SMA. Untung saja aku lahir di jaman ini, kalau tidak, aku mungkin sudah bersuami dan punya lima anak.

Aku menggelengkan kepala dan perlahan mengelus punggung salah satu babi. Lulus SMA juga merupakan salah satu keberuntunganku. Pandemi virus corona yang melanda seluruh dunia membuat sekolah-sekolah ditutup dan Ujian Nasional ditiadakan. Aku tak tahu bagaimana guru-guru menentukan lulus tidaknya seorang siswa, tapi kami semua lulus. Minggu lalu, Bu Yana, wali kelasku datang ke rumah untuk mengantar amplop kelulusan. Aku tak merasakan apa-apa saat menerima amplop. Aku tak merasakan ketegangan yang biasa orang rasakan saat menanti pengumuman kelulusan, tak ada keseruan saat berkumpul bersama teman-teman merayakan kelulusan. Yang ada hanya perasaan bahwa aku mungkin tak bisa lagi bertemu dengan teman-temanku.

Selain perasaan itu, aku juga tak yakin apa aku benar-benar sudah bisa meninggalkan bangku SMA. Apakah aku mampu menjalani kehidupan bermasyarakat yang memerlukan tanggungjawab, kemandirian, juga keterampilan? Otakku tidak secerdas Sari, sahabatku. Saat lockdown dimulai dan kami mengerjakan semua tugas sekolah di rumah, aku ke rumah Sari dan menjiblak semua tugasnya. Tak ada tugas yang murni pekerjaanku sendiri. Kukira bukan cuma aku yang melakukannya, banyak teman lain yang juga melakukannya. Dan kami semua lulus. Aku tak tahu apakah kami harus bersyukur karena adanya COVID 19 atau tidak.

Lalu tentang para guru, aku tak tahu apakah mereka memeriksa semua tugas yang sudah kami kumpulkan atau tidak. Karena sebulan lalu saat ke sekolah untuk mengumpulkan tugas terakhir sebelum dinyatakan lulus, aku melihat tugas-tugas kami masih menumpuk di meja dan belum diambil oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan. Yah, saat lockdown dimulai kami diwajibkan ke sekolah sendiri-sendiri untuk mengambil tugas yang akan disimpan guru di meja mereka. Setiap minggu kami akan diberikan tugas yang berbeda, yang perlu kami lakukan hanyalah mengerjakannya dan meletakkan di meja guru kalau sudah selesai. Kami tidak menggunakan google classroom ataupun tatap muka online dengan penggunakan zoom, karena boro-boro pakai smartphone, sinyal saja kadang tidak ada.

Hendra!” suara keras ibuku terdengar dari dalam rumah. “Bangun sudah, kasih keluar kerbau… Kau mau tidur sampai kapan? Itu kerbau di sana sudah jadi dendeng di kandang!”

Aku tak mendengar jawaban adikku, tapi beberapa menit kemudian adikku melompat turun dari beranda rumah dengan wajah yang jelas sekali masih mengantuk dan berlari kecil ke kandang kerbau di belakang.

Tugas adikku setiap pagi adalah mengantar kerbau ke bukit di belakang rumah, memindahkan mereka siang hari, dan mengambil mereka sorenya. Kurasa adikku cukup senang dengan kegiatan ini, karena dia bisa bertemu teman-temannya yang melakukan hal yang sama, lalu bersama-sama mereka mencari buah-buah liar di padang atau memanah burung di hutan dengan ketapel.

Memandang adikku yang sedang menarik kerbau keluar kandang, aku berpikir tentang apa yang akan kulakukan setelah lulus SMA. Ayahku bekerja sebagai menjaga sekolah merangkap sebagai tukang bersih-bersih di SMP dekat kantor kecamatan, sedangkan ibuku berjualan di pasar Sorong. Yang dimaksud dengan pasar Sorong adalah pasar di pinggir jalan, di mana barang jualan akan disodorkan melalui jendela bus umum atau kenderaan yang lewat. Ibuku pergi ke Pasar Sorong setiap hari membawa sirih, pinang, jagung rebus dan telur rebus dalam bakul besar. Tak banyak yang dihasilkan oleh ibuku karena banyak sekali orang berjualan hal yang sama di sana. Yah, aku tahu sekali keuangan orangtuaku, dan aku tidak mengharapkan mereka membiayaiku kuliah. Aku mungkin akan berjualan juga seperti ibuku.

Lihat selengkapnya