Orang desa sini menyebut jalan mendaki ini Tangga Madita, yang berarti puncak yang tinggi. Dan sesuai dengan namanya, puncaknya benar-benar tinggi. Kita harus melewati jalan mendaki yang memutar untuk sampai ke puncaknya. Mungkin karena sudah hampir dua bulan kami tidak ke sekolah dan tidak melewati jalan ini, Sari dan aku lebih lelah dari biasanya saat kami tiba di ujung jalan mendaki.
Di sini sudah ada banyak orang. Yah, di sini adalah Pasar Sorong. Orang-orang desa sini, juga orang-orang dari desa tetangga banyak yang berjualan di sini. Tapi hari ini, keramaian di pasar ini, tidak seperti keramaian yang biasa karena ada dua laki-laki berseragam polisi dan enam orang berseragam Polisi Pamong Praja. Selain seragam, mereka juga mengenakan masker hitam, pelindung wajah dari plastik bening, kaos tangan tipis dan membawa alat untuk mengukur suhu. Sebagai tambahan keramaian, di sini ada sebuah bus umum yang berhenti, sementara di belakangnya ada dua mobil peribadi. Dari arah kami datang, ada sebuah pick-up yang memuat berbagai macam barang mulai dari sayur-sayuran sampai gayung plastik warna-warni; di belakang pick-up, ada beberapa motor yang mengantri untuk lewat.
Jalan raya yang melewati desa kami ini merupakan jalan raya antar kabupaten, jadi wajar kalau ada banyak kendaraan yang lalu-lalang.
“Wah, ramai sekali!” komentarku, memandang berkeliling.
“Kayaknya ada tilang masker,” kata Sari, mengeluarkan masker merah dari saku celana panjangnya dan mengenakannya. “Kau bawa masker, kan?”
“Iya,” kataku, cepat-cepat mengeluarkan masker biru dari saku celana panjangku, lalu mengenakannya.
“Jaga jarak! Jarak satu meter! Yang tidak pakai masker pulang! Yang suhu tubuh di atas 37 derajat pulang!” teriak seorang polisi beberapa kali dengan menggunakan pengeras suara.
Para penjual di pasar segera bergeser membuat jarak satu sama lain. Mereka meletakkan barang jualan mereka di atas tikar kecil di tanah, jadi mudah saja menjaga jarak, tinggal menarik tikar menjauh. Sementara yang membawa bakul kecil tempat menyimpan jualan mereka tinggal memindahkan bakulnya untuk menciptakan jarak.
“Ayo!” kata Sari, menarik tanganku untuk melanjutkan perjalanan.
Aku yang sedang asyik memandang seorang SatPolPP yang masuk ke dalam bus umum untuk memeriksa penumpangnya, segera bergerak mengikuti Sari.
“Wah, sampai sebegininya mereka! Pakai tilang masker segala!” komentarku saat kami sudah agak jauh dari Pasar Sorong.
“Memang harus begitu,” kata Sari. “Di Indonesia sekarang kan sudah ada ribuan yang kena COVID. Di Kupang saja sudah ada yang kena, satu orang.”
“Di Sumba kan belum ada yang kena.”
“Memang belum, tapi bandara dan pelabuhan masih dibuka, dan ada banyak mahasiswa dari luar daerah yang pulang, ada juga TKI dan TKW dari Malaysia dan Singapura, juga orang-orang yang pulang dari Bali!”
“Iya sih,” kataku, berpikir sebentar lalu melanjutkan, “Kak Sem, kakaknya Kak Yati kemarin datang ke rumah.”
“Eh, bukannya dia kerja di Bali?”
“Iya harusnya, tapi dia dikeluarkan dari tempat dia kerja. Dia bilang, karena COVID banyak yang dipecat. Sekarang banyak orang Sumba yang jadi pengangguran di Bali.”
“Padahal banyak teman SMA kita yang mau ke Bali cari kerja. Sekarang mereka tidak bisa pergi.”
“Iya, kasihan sekali,” komentarku prihatin, lalu menambahkan, “Padahal Rina sebenarnya mau jadi TKW di Malaysia.”
“Siapa yang bilang dia mau jadi TKW?”
“Dia sendiri yang bilang. Bulan lalu saat antar tugas ke sekolah, kan, kita ketemu dia. Katanya ada saudara sepupunya yang sudah kerja di Malaysia dan akan memperkenalkan dia pada agen yang mengurus TKW—” Aku memandang Sari sebentar, lalu menambahkan, “—Eh, waktu dia bilang begitu, kau tidak ada. Kau kan ada ketemuan dengan Nathan. Kau pergi dengan Nathan tidak bilang-bilang—”
Aku berhenti bicara karena melihat wajah Sari yang tampak tegang saat aku menyebut Nathan. Sesaat kemudian dia menggeleng kepala dan mengatakan hal yang sama sekali berbeda dari apa yang kami bicarakan: “Jadi, Irma, mulai sekarang kau tidak boleh berdekatan dengan orang lain, jaga jarak satu meter, tidak boleh salaman, apa lagi cium hidung nanti kau kena COVID.”
Cium hidung adalah tradisi di Sumba sini. Di sini, kalau ketemu orang yang sudah lama tidak kita lihat kita akan berciuman hidung dengannya. Atau kalau pergi ke acara-acara seperti pernikahan, syukuran, atau kematian, orang sini saling berciuman dengan hidung.
“Kemarin Mama dan saya cium hidung dengan Kak Sem,” kataku.
“Lain kali jangan! Apa lagi dengan orang yang baru pulang dari luar daerah. Kalau ada yang mau cium hidung, tolak saja! Harusnya sekarang orang-orang sudah tidak cium hidung lagi, kan sudah ada orang yang dalam pengawasan karena COVID.”
“Iya, Bapa bilang ada tiga orang yang baru pulang dari Jakarta yang dalam pengawasan—Ibu Perawat di Puskesmas yang bilang ke Bapa. Katanya masih tunggu sampel yang dikirim ke Jakarta untuk diperiksa, setelah itu baru diketahui mereka kena Covid atau tidak.”
“Yah, bisa lama nunggunya. Mungkin ada ribuan sampel yang dikirim ke Jakarta.”
“Semoga rumah sakit sini bisa cepat punya alatnya.”
“Bukan di rumah sakit sini, paling dikirim ke Kupang!”
“Iya, ya, biasanya profinsi yang dapat duluan!”
Kami lalu berjalan dalam diam selama beberapa saat sampai aku teringat sesuatu. “Bagaimana dengan kita yang mau kuliah di luar daerah? Jangan-jangan kita tidak diijinkan kuliah di luar Sumba.”
“Pasti boleh, hanya saja mungkin akan disuruh bikin surat keterangan kesehatan bebas COVID dari rumah sakit,” jawab Sari.
“Wah, kayaknya ribet bikin itu!”
“Sama saja kayak urus surat keterangan sehat. Nanti akan ada periksa darah dan sebagainya. Setelah bayar Rp.250.000,- surat keterangan sudah bisa diambil.”
“Wah mahal juga, ya!”
“Kan harus periksa pakai laboratorium. Nah, pemeliharaan lab-nya itu yang mahal.”
Aku mengangguk, walaupun tak tahu alat-alat lab apa yang dipakai untuk mendapat surat keterangan sehat.
“Kalau sudah yakin mau ke Malang, siap uang sudah untuk urus segala macam surat. Selain surat keterangan sehat, ada surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian, dan—” Sari memandangku dengan penuh perhatian. “Kau sudah urus KTP?”
“KTP?”
“KTP, Irma, Kartu Tanda Penduduk!”
“Saya belum punya KTP!”
“Urus itu duluan, itu yang paling penting!”
“Kau sudah punya KTP?”
“Sudah… Bulan Oktober kemarin, kan, kita disuruh bawa Kartu Keluarga karena mau difoto untuk KTP.”
“Waktu mau difoto saya sakit, jadi tidak ikut difoto!”
“Di kelas kita ada lima orang yang tidak ikut difoto waktu itu. Kau, Serly, Putri, Rinus, dan Yan.”
“Coba waktu itu saya tidak sakit!” aku berkata penuh penyesalan.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Kau kan bisa pergi ke Waingapu urus KTP di kantor dinas Kependudukan. Nanti minta surat keterangan dulu dari kantor desa—”
“Lho, tidak bisa urus KTP di kantor kecamatan?”
“Mana bisa! Langsung di kantor dinas Kependudukan. Jangan lupa bawa kartu keluarga!”
“Malas sekali urus yang begitu!”
“Kalau tidak ada KTP kau tidak akan bisa pergi ke Malang!”
“Iya, iya!” kataku, berpikir pasti akan banyak sekali orang yang urus KTP di kantor Kependudukan. “Urus KTP bayar berapa?”
“Tidak bayar… Tapi mungkin kau harus tunggu sampai satu minggu baru bisa ambil KTP.”
“Bukannya langsung bisa diambil?”
“Harusnya sih, tapi kemarin ada sepupu yang urus KTP, katanya harus nunggu blangko atau apa gitu… Satu minggu baru dia bisa ambil KTP!”
Aku mengangguk. Yah, mungkin orang di Dinas Kependudukan juga capek, setiap hari harus bertemu banyak orang dan berbicara dengan mereka tentang hal yang sama. Mereka pasti sangat bosan.
Kami terus berjalan melewati perumahan dan berbelok ke jalan mendaki kecil yang menuju sekolah. Sekolah kami terletak di sebuah bukit kecil, di mana kami bisa melihat seluruh desa Makamenggit dari bukit tersebut.
Gerbang dan pintu depan sudah dibuka, jadi kami langsung masuk ke dalam sekolah dan menuju ruang kepala sekolah yang pintunya terbuka.