Rumah kepala desa yang tepat dibangun di samping rumahku adalah sebuah rumah modern berukuran besar. Tembok rumah berwarna pink lembut dengan atap berwarna biru terang. Saat kembali dari sekolah, aku tidak langsung pulang ke rumahku, tapi pergi ke rumah Sari.
Dari pintu samar-samar aku mendengar suara tangisan, dan pikiranku langsung dipenuhi hal-hal buruk. Apakah Sari mungkin—?
Cepat-cepat aku mendorong pintu sambil memanggil namanya, “Sari!” Tapi pemandangan yang menyambutku di balik pintu langsung membuatku kehilangan kata-kata. Di sini sudah ada beberapa orang. Ayah Sari, ayahku, juga dua orang paman Sari yang tinggal di desa sebelah sedang duduk mengelilingi meja kecil. Tampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu yang penting, karena kepala mereka saling berdekatan dan wajah mereka tampak serius. Di sudut kiri ruangan, dekat pintu yang menuju ruang makan ada ibuku yang duduk sambil menghibur ibu Sari yang menangis. Ibu Sari tampak stress dan benar-benar terpukul. Kukira orangtua Sari sudah tahu bahwa Sari hamil. Saat ini, mereka mungkin sedang membicarakan apa yang akan dilakukan.
Dalam hal mengapa orangtuaku juga ada di sini adalah karena di Sumba sini orang dalam satu desa biasanya memiliki hubungan kekerabatan. Ayahku merupakan sepupu jauh ayah Sari, jadi bisa dibilang kami bersaudara. Lagi pula, orangtuaku merupakan tetangga dan teman terdekat orangtua Sari.
“Irma!” Ibuku menegurku saat aku hanya berdiri bengong di pintu, sementara di tanganku ada map berisi ijasah dan kantong plastik berisi jagung rebus yang kubeli di pasar Sorong.
Aku membeli jagung rebus karena belum sarapan dan berniat mengajak Sari pergi ke suatu tempat untuk berbicara dengannya.
“Irma!” suara ibuku yang lebih keras dari sebelumnya membuyarkan lamunanku tentang apa yang akan Sari dan aku lakukan nanti.
Aku memandang berkeliling pada wajah-wajah tak senang yang ada di depanku dan bergumam maaf, lalu hendak berpamitan saat Sari, yang duduk di dekat pintu, menarikku untuk duduk di sampingnya.
“Irma, tetap di sini,” kata Sari, menatap wajah ayahnya dengan ekpresi keras kepala.
“Eh, lebih baik saya—” Aku tak ingin berada di sini. Aku tak ingin mendengar tentang apa yang akan mereka putuskan untuk Sari.
“Tetap di sini,” bisik Sari pelan
Aku memandang Sari dan melihat bahwa wajahnya tampak pucat dan matanya bengkak. “Kau tak apa-apa?” tanyaku. Aku khawatir dia mungkin dipukul oleh ayahnya atau oleh dua pamannya yang tampak sangar itu.
Di desa sini orangtua masih sering sekali memukul anak-anaknya kalau anaknya berbuat salah. Walaupun sudah ada undang-undang perlindungan anak atau apapun namanya, tetap saja masih banyak yang melakukannya. Benar sekali yang dikatakan Nathan, zaman boleh berubah, tapi di desa sini waktu seolah berhenti.
“Tidak apa-apa. Hanya terlalu banyak menangis,” jawab Sari sambil mengusap matanya yang bengkak.
Aku mengangguk lalu mengalihkan pandangan pada ayah Sari, ayahku dan dua paman Sari yang sudah kembali berdiskusi dengan menggunakan bahasa Sumba. Aku berusaha menangkap apa yang mereka bicarakan. Dari pembicaraan mereka aku bisa menyimpulkan bahwa mereka telah setuju untuk meminta pertanggungjawaban pihak laki-laki terhadap apa yang terjadi pada Sari dan berniat mengirim utusan untuk meminta kepastian tanggal berapa pihak keluarga laki-laki bisa datang untuk melamar Sari.
“Tadi saya ketemu Nathan di sekolah,” kataku cepat-cepat, dan semua orang memandangku dengan penuh perhatian. “Dan—dan dia bilang minggu depan dia dan keluarganya akan datang ke sini untuk—untuk melamar Sari. Tapi—eh, tapi kalau mau kirim utusan juga tidak apa-apa. Itu lebih baik—”
“Irma, lebih baik kau keluar!” kata ayahku jengkel. Ayahku tampaknya tak senang aku menginterupsi pembicaraan mereka.
“Eh, baiklah!” kataku senang. Dari tadi aku sudah ingin keluar dari ruangan ini.
“Sari, kau juga keluar!” kata ayah Sari.
“Tidak!” Sari menolak dengan tegas. “Kalau saya keluar saya tidak akan tahu apa yang kalian putuskan… Tadi saya dengar Bapa, Bapa Irma, Om Lius, Om Hanis omong bahwa kalian setuju saya menikah dengan Nathan. Tapi kalian tidak tanya pendapat saya. Tidak ada yang tanya pendapat saya. Saya tidak mau menikah! Walaupun nanti ada bayi, saya tidak harus menikah, kan? Banyak orang yang punya bayi tapi tidak menikah.”
Mendengar perkataan Sari, ibu Sari langsung menangis, kedua pamannya dan ayahku terbelalak, sementara wajah ayah Sari berubah merah padam.
“Irma, bawa Sari keluar!” perintah ayah Sari.
Aku segera menarik Sari berdiri dari kursinya.
“Tidak mau! Bapa sudah dengar tadi. Saya tidak mau menikah!”
“KELUAR!” ayah Sari berteriak keras mengagetkan semua orang dalam ruangan.
Aku segera mencengkram tangan Sari dengan erat dan menyeretnya ke pintu depan. Sampai di luar rumah, Sari memelukku dengan erat dan menangis tanpa suara. Yah, Sari memang bukan ratu drama yang mengumbar perasaannya di mana-mana. Dia hanya perlu menangis sebentar dan segera tenang kembali setelah puas menangis. Aku membelai punggung Sari dengan canggung dan menunggu.
Setelah beberapa saat Sari berhenti menangis, lalu tersenyum padaku. Aku balas tersenyum dan berkata, “Kita pergi ke Kambu Liang, yuk!”
“Ayo!” kata Sari setuju.