Awal hari ini berjalan seperti biasanya, bangun pagi, shalat subuh, bersih-bersih, memasak, memandikan anak, menyiapkan keperluannya sekolahnya dan bla bla bla. Semua Cici lakukan dengan penuh semangat, agar semua pekerjaan nya lekas selesai dan dia tidak melewatkan waktu shalat dhuha. Cici bukanlah wanita sholehah sempurna yang memakai hijab tertutup, mengikuti pengajian atau rutin ke masjid. Dia hanyalah wanita yang berusaha berbuat baik kesesama, memberikan yang terbaik untuk suami dan keluarganya serta berusaha untuk tidak melewatkan shalat lima waktunya. Namanya Cici Atmaja, wanita berumur tiga puluh tahun yang sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang saat ini masuk sekolah TK, namanya Langit, Langit Putra Sulaiman. Diberi nama Sulaiman karena suami Cici berharap kelak akan memiliki kehidupan yang menyerupai Nabi Sulaiman, menjadi seorang pemimpin yang bijaksana. Dan ternyata harapan itu sedikit terkabul. Bukan soal bisa tidaknya Langit menjadi seorang pemimpin akan tetapi sifat Langit yang menyukai berbagai macam hewan, entah dari golongan reptil, unggas, serangga atau yang lainnya, yang dia takuti hanya kecoa dan tikus haha hampir mirip dengan Nabi Sulaiman kan. Dan yang kedua seorang anak perempuan berusia 12 bulan, namanya Bintang Putri Azzahra. Demikian dengan Bintang, suami Cici pun berharap kelak putrinya akan menjadi anak yang cerdas dan baik seperti Fatimah Az Zahra putri Nabi Muhammad. Selesai sudah pekerjaan Cici didapur, menu hari ini sayur bening kecambah campur tahu dengan lauk tempe goreng serta sambal terasi. "Saatnya aku bangunkan anak-anak" kata Cici dalam hati. Cici lantas bergegas menuju kamar, kamar yang Cici tiduri berisikan empat orang, Cici, suami dan kedua anak Cici. Walau terasa sempit tapi mereka bahagia karena dapat berkumpul berempat bersama sepanjang malam. "Ayo bangun, sudah pagi. Langit, Bintang, sudah jam setengah enam lo" sambil menepuk perlahan paha Langit dan Bintang agar mereka bangun. "Hooaammm...sekolah ya buk?"tanya Langit sambil masih menutup matanya "Iya, ayo bangun nak, nanti terlambat lo" bujuk Cici. Langit pun bangun dan duduk di pinggir kasur. "Buk, disurih bawa koran 1 lembar sama bu guru"kata Langit mengingatkan Cici lagi. "Iya nak, sudah ibuk masukkan didalam tas, ayo mandi, airnya hangat kok" "Iya"berdiri, kemudian menuju kamar mandi. Selesai dimandikan, Langit ganti baju. Sambil memasangkan baju ke Langit, Cici menyuapi Langit, "Ganti baju sambil sarapan ya nak, biar cepat" "Iya buk. Buk enduk kok belum bangun" tanya Langit. Enduk panggilan untuk Bintang. "Biarin dulu. Malah ibuk bisa fokus ke Langit sampai berangkat sekolah nanti" kata Cici pelan suaranya. Langit makannya lama, karena gigi Langit yang gigis jadi agak kesulitan untuk mengunyah makanannya. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Bintang pun akhirnya terbangun "Eh anak cantiknya ibuk sudah bangun"sambil tersenyum kearah Bintang, Bintang pun membalas senyuman Cici dengan senyum balik "Ayo gendong ibuk, ikut ibuk mengantar mas Langit" ajak ibuk "Ehm ehm ehm(iya)" mungkin seperti itu translate kata-kata Bintang. "Langit, ayo berangkat, pamit dulu sama romo dan eyang" . Berlari kecil menuju belakang rumah mencari romonya "Moooooo....berangkat...." teriak Langit "Yaaaa....hati-hati" sambil melambaikan tangannya yang kemudian dibalas dengan lambaian tangan dari Langit. Berlari lagi ke depan menuju kamar eyang "Yaaanggg, berangkat" "Iya...hati-hati ya jangan nakal disekolah" sambil salim ke eyangnya. Perjalanan ke sekolah Langit tidaklah jauh, sekitar 40 meter dari rumah. Oleh karena itu setiap mengantar Langit kesekolah pastilah dengan jalan kaki. Setelah mengantar Langit, kemudian Cici bergegas untuk ganti merawat Bintang, mulai dari memandikan, memberi sarapan dan meng-asi. Karena kekenyangan, sering setelah Bintang meng-asi dari Cici, dia tertidur lagi. Dan tibalah waktu untuk shalat Dhuha waktu yang Cici tunggu-tunggu, karena Cici percaya dalam shalat Dhuha dia bisa meminta rejeki yang banyak kepada Allah. "Alhamdulillah, masih bisa menjumpai shalat Dhuha Mu ya Allah. Bismillahirrahmanirrahim" mulailah Cici melaksanakan shalat Dhuha 4rakaat seperti biasanya "Ya Allah, ya Tuhanku yang Maha Segalanya, ampunilah dosa-dosa orang tua,mertua,suami,anak,keluarga dan hambaMu ini Ya Allah. Ya Allah limpahkanlah kepada kami rejeki dan berkahMu, serta selalu bimbinglah kami di jalan yang Engkau ridoi..Ya Allah, berikanlah kemurahan hatiMu untuk melebihkan rejekiku, ijinkanlah hambaMu ini untuk lekas memiliki hunian sendiri Ya Allah, sehingga hamba tidak selalu merepotkan mertuaku. Aamiin aamiin ya Robbal alamin" doa Cici setiap kali shalat Dhuha maupun shalat wajib. "Sayang gasnya habis, tolong beli ke warung" suara suami Cici dari samping kamarnya "Iya, sebentar" membereskan mukenanya dan segera keluar dari kamar menuju ke arah suaminya "Beli 2 tabung ya, uangnya di dompet" sambung suaminya. Menuju ke kamar mengambil dompet suami "Mo, romo..uang didompet tinggal 50ribu. Kalau dibelikan gas semua nanti ada uang cadangan gak?"tanya Cici "Hehe, uangnya hari ini tinggal itu" sahut suaminya, yang biasa dipanggil Romo sebutan pengganti bapak. Karena panggilan Ayah, Papah, Papi, Bapak, Dedy, Abah sudah terlalu menjamur di kancah Indonesia ini, akhirnya ketika dulu Langit lahir diputuskan untuk memanggil dengan sebutan Romo. Nama sebenarnya suami Cici adalah Dito Saputra. Dulu teman satu kampusnya Cici. Dan tidak menyangka sekarang menjadi teman hidup Cici "Beli satu saja ya. Sisanya mau buat bayar arisan sekolah Langit besok" "Oke deh" jawab suami. Cici bergegas membawa tabung gas kosong ke warung dekat rumah Cici. "Mba Us, beli gas" "Berapa?" "Satu saja" "Naik ya neng gasnya, hari ini 22ribu" "Oiya gak papa. Aku ambil satu. Ini uangnya" menyerahkan uang satu-satunya Cici "Ini kembaliannya" kata mba us "Langit belum pulang sekolahnya?"tanya mba Us "Belum, paling bentar lagi. Duluan ya mba Us" "Iya, terimakasih ya"
"Ini Mo gasnya" "Terimakasih sayangku" sambil tersenyum kearah istrinya yang tiba-tiba berubah cemberut "Kenapa, kok cemberut, nanti wajah manismu ilang lo" kata Romo sambil mengusap lembut rambut Cici "Mo, besok kita gimana? Hari ini uang tinggal 28ribu. Besok aku bayarkan arisan 20rbu. Tinggal delapan ribu" air mata Cici hampir keluar. "Terus berdoa ya...semoga hari ini ada rejeki lagi" hibur suami Cici. Semenjak melahirkan anak kedua, perekonomian keluarga semua ditanggung oleh suami Cici. Suami Cici bukanlah PNS atau karyawan tetap disuatu perusahaan, dia hanyalah seorang keryawan freelance vaksinator suntik ayam dan seorang wirausaha ayam kecil-kecilan di belakang rumah mertua Cici. Semenjak saat itu, kehidupan perekonomian Cici sangatlah pas-pasan. Selalu saja rasa khawatir akan hari esok membayangi hari-hari Cici. Beruntungnya Cici masih tertolong dengan kebaikan hati mertua dan orang tua Cici yang sedikit banyak sudah meringankan beban Cici. Orang tua Cici adalah orang pekerja, terkadang mereka memberi Cici bantuan berupa uang atau bahan pangan. Walaupun sering Cici tolak karena merasa sungkan tapi orang tua Cici selalu punya akal untuk memberikan bantuan kepada anaknya. Entah dengan cara memberikan uang saku berlebih untuk Langit atau membawakannya bahan pangan seperti telur atau mie instan ketika Cici pulang berkunjung dari rumah mereka. Mertua Cici pun demikian, seorang pensiunan janda, kebutuhan makan keluarga kecil Cici ini sebagian ditanggung oleh mertua Cici. Memang untuk biaya listrik Cici yang tiap bulan menanggungnya tapi untuk biaya kebutuhan, mulai dari bahan pangan, gas, perlengkapan persabunnan Cici selalu berusaha untuk sebagian memenuhinya karena Cici merasa sungkan kepada mertuanya. Oleh karena itu, disetiap doa Cici, Cici selalu meminta agar Allah mengabulkan doanya untuk bisa lekas membangun hunian yang layak untuk keluarga kecilnya ini. Agar Cici tidak merasa sungkan.
"Mo, kenapa doaku belum terkabulkan ya?" tanya Cici. Melihat istrinya yang tampak sedih, Romo pun berusaha menghiburnya "Yang sabar ya, terus lah berdoa. Kata-kata bijak, berdoa itu bagaikan mengayuh sepeda. Perlu diulang-ulang mengayuhnya agar lekas sampai. Begitupun doa, jika terus kamu panjatkan pasti akan segera terkabul" romo berkata sambil tersenyum manis kearah istrinya dengan sibuk menghidupkan kompor yang dipakainya merebus air untuk pakan ayam "Memang apa doamu yang belum dikabulkan?"tanya romo penasaran "Minta uang yang banyak biar bisa lekas bangun rumah" jawab Cici "Oh itu, mungkin saat ini doa itu masih antrian ke tujuh. Dan sekarang masih nomor satu. Terus bersabar dan berdoa biar urutannya lekas ke nomor tujuh"kata romo lagi. Cici melamun sambil berguman "Kalau saja enduk bisa ditinggal kerja seperti Langit dulu, pasti aku bisa membantumu mencari uang seperti dulu" "Kalau seperti itu lagi, berarti kamu itu masih belum punya anak namanya"kata romo membuyarkan lamunan Cici. "Kok bisa?"Cici kebinggungan "La iya, habis melahirkan, cuti 3bulan terus kembali bekerja dari pagi sampai sore. Seperti itu terus. Akhirnya tiba-tiba saja anakmu sudah gede. Lihat Langit, tiba-tiba saja sudah TK. Kamu tahu betul dulunya perkembangan dia seperti apa? Belajar tengkurapnya seperti apa? Belajar merangkak seperti apa? Belajar berdiri berjalan seperti apa? Celoteh dia seperti apa?"romo mengenang masa lalu "Dan yang paling penting, kamu tahu perasaanndia seperti apa dulu? Ketemu sama kamu cuma pas kamu libur bekerja, tidur sama kamu pas kamu lagi libur bekerja. Pulang dari tempat penitipan anak, teman-temannya dijemput orang tuanya, tapi dia dijemput neneknya. Coba kamu bayangin gimana perasaannya? Untungnya anak itu kuat, jadi cengengnya gak lama-lama. Kan ada anak orang yang perasaannya sedang terluka terus dia jadi sakit. Kalau Langit kita kan engak" tegas suaminya, lalu romo melanjutkan lagi "Kamu ini harusnya bersyukur diberi Allah kesempatan satu kali lagi merawat anak kamu. Enduk kamu rawat mulai dari lahir sampai sekarang dia mulai bisa belajar berdiri. Kamu tahu tiap detik perkembangannya, bagaimana perasaannya, dan bagaimana dia mulai belajar hal baru. Semua kamu yang nemenin. Dan kalau gak ada enduk, saat ini Langit juga gak akan sama kita kan? Dia pasti ikut ibumu sekolah disana". Seketika kata-kata panjang dari romo menyadarkan Cici atas amanah apa yang sudah dia lewatkan. "Hiks..hiks..hiks.."Cici terisak "Iya ya Mo, aku hampir saja melewatkan lagi kesempatan ini" "Tugasmu sekarang adalah merawat anak-anakmu dengan baik dan bahagia serta mendoakan suamimu ini agar lancar rejekinya. Selebihnya biar diurus sama Allah. Percayalah walau lama mengabulkannya dan kamu gak sabaran..itu semua yang terbaik untukmu"sambung romo seraya menepuk bahu Cici untuk menguatkan. Cici pun tersenyum.