Apa jadinya kalau kamu, seorang laki-laki muda berusia 16 tahun yang berenergi dan penuh semangat, tinggal bersama empat orang perempuan? Dengan alasan, agar hidupmu lebih tertata dan tidak terjerumus dalam hal-hal yang buruk, seperti yang sering memenuhi halaman utama berita di koran atau televisi. Oh, jangan lupakan, berita daring yang kini menjamur di era digital abad 21 ini.
Tentu saja alasannya tidak sesederhana itu. Sang kepala keluarga telah lama meninggalkan keluarga. Mama pun telah berpulang beberapa tahun lalu saat diri ini masih membutuhkan kasih sayangnya untuk melewati masa paling penting kehidupan remaja.
Ya, itulah aku. Pemuda yang hari ini akan menjalani kehidupan pertama sebagai siswa sekolah menengah atas. Masa yang membingungkan dan tanggung. Tidak bisa disebut anak-anak, tapi juga belum termasuk dewasa
Jadi, sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini, aku tinggal bersama keempat saudaraku yang semuanya perempuan. Bukan, aku bukan otomatis menjadi kepala keluarga karena usiaku yang masih muda dan aku adalah anak keempat dari lima bersaudara. Kakak pertamaku lah yang membiayai seluruh kehidupan kami, dengan sisa-sisa warisan yang ditangani oleh pengacara keluarga. Dia hanya mengatur setiap pos keuangan yang dibutuhkan dan penting.
Bagi sebagian orang, menjadi satu-satunya gender di dalam keluarga bisa mempunyai keuntungan lebih. Ya, awalnya memang begitu. Aku menikmati semua perhatian yang diberikan oleh orang tua dan saudara-saudaraku. Mereka semua sangat menyayangiku, meski terkadang usil dan jahil.
Semua kakakku suka menggoda dan “menindas” dengan menyuruhku melakukan banyak hal. Mengambil makanan atau minuman, membeli sesuatu, memasak, atau lainnya. Mereka juga sangat protektif padaku. Malah berlebihan, padahal aku ini laki-laki.
Salah satu hal yang masih membekas di ingatan adalah permintaan aneh kakak ketigaku. Dia memintaku untuk pura-pura menjadi pacarnya.
“Ez! Ke sini sebentar!” Edith memanggilku dari meja makan di samping sofa yang kududuki. Dari sudut mataku, dia sedang berkirim pesan dengan seseorang. Tampak gusar karena rambut pendeknya tampak berantakan.
“Apa?” tanyaku datar tanpa mengalihkan pandang dari televisi. Dia pasti memintaku untuk melakukan sesuatu, dan aku sedang tidak ingin.
“Ez! Ezra! Sini sebentar aja kenapa sih?” Edith masih memanggilku dari sana.
Aku pura-pura tidak mendengar dan malah memperbesar suara televisi. Film aksi yang sedang tayang malam ini memang seru sekali. Aku hanya tidak ingin, kesukaanku yang satu ini terganggu oleh hal-hal sepele. Bahkan jika kakakku harus mengguyur air ke kepalaku, aku tidak akan beranjak dari sini. Aku bersumpah dalam hati!
“Ezra!” Sebuah teriakan dan pukulan di bahu membuatku meringis dan langsung menoleh.
“Apa sih?! Sakit, tahu?!” sentakku sambil mengusap bahu.
“Makanya, kalau dipanggil itu dijawab! Bukan pura-pura nggak denger!” Edith balas menyentak dan melotot padaku. Di tangannya, ada ponsel yang berdering nyaring sejak tadi.