Langit masih gelap saat kubuka mata dan mematikan alarm ponsel yang menjerit di atas meja. Kupaksa tubuh ini bangun dan berdiam sejenak. Butuh waktu beberapa saat untuk mengumpulkan jiwa yang masih tersesat di alam mimpi. Mereka harus bersatu dengan tubuh fana ini lebih dulu sebelum memulai hari di dunia nyata.
Dinginnya lantai yang menyentuh telapak kaki segera membangunkan sel-sel otak yang masih malas untuk beraktivitas. Setelah menguap dan mengucek-ucek mata yang masih ingin terpejam, aku berjalan keluar.
Di lantai tiga ini, hanya ada kamarku, sementara empat saudara perempuanku menempati dua kamar di atas. Selain kamar tidur, lantai ini merupakan tempat segala kegiatan. Dapur, ruang makan, ruang keluarga dan menonton televisi, tempat mencuci, berada di sini.
Ya, rumah kami berupa ruko empat lantai peninggalan Mama yang dibeli secara sembunyi-sembunyi dari Papa. Sebelum berpulang, Mama menyerahkan tugas dan tanggung jawab pada Emily sebagai anak tertua untuk mengurus adik-adiknya. Dalam artian, Emily yang menggantikan posisi Mama dalam keluarga ini.
Dua lantai teratas menjadi tempat tinggal kami, sementara sisanya untuk tempat usaha. Emily membuka butik di lantai satu dan kafe di lantai dua dengan beberapa karyawan. Eiko secara resmi bekerja pada Emily sebagai barista, sekaligus menyumbang suara di saat-saat tertentu. Mereka berdua yang mengurus keuangan keluarga sehari-hari.
Sementara itu, kakakku yang satu lagi sibuk menjadi aktivis di kampus. Entah bagaimana nasib kuliahnya yang dia dapat dengan beasiswa jika masih terlibat dengan demo-demo tidak jelas. Sempat kudengar kabar, beasiswanya nyaris dicabut jika semester ini dia tidak mengurangi kegiatan di luar dan lebih fokus pada kuliahnya.
Lalu, siapa yang mengurus pekerjaan rumah tangga? Yup, that’s me! Tentunya dengan bantuan Echa jika dia sedang “waras”, dalam artian tidak ada pamrih di baliknya. Namun, mengharapkan Echa akan bekerja sampai selesai tanpa imbalan, bagai punguk merindukan bulan. Sesuatu yang mustahil terjadi.
Jadi, demi kenyamanan dan keamanan hajat hidup orang banyak di keluarga ini, aku dengan senang hati melakukannya. Tidak ada yang salah ‘kan dengan lelaki yang mengerjakan pekerjaan rumah? Mama pernah berkata, pekerjaan rumah itu bisa dilakukan siapa pun, tidak harus perempuan dan tidak perlu malu melakukannya.
Emily dan Eiko juga membantu semampu mereka. Terkadang selepas menutup butik dan kafe, mereka akan membereskan dapur dan membuang sampah. Sementara Edith? Hmm, lebih baik tidak usah mengharapkannya juga.
Mama selalu memujiku anak yang rajin, malah yang paling rajin di antara anak-anak perempuannya. Aku juga yang paling sering menemani dan membantu Mama memasak, yang sekarang menjadi hobi sekaligus keahlianku.
Maka, di pagi buta ini, sebelum keempat saudaraku bangun, aku sudah berkutat dengan segala peralatan dapur. Tanganku lincah menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk membuat sarapan. Keterampilanku menggunakan pisau menjadi andalan sehingga proses memasak itu berlangsung lebih singkat.
Bunyi air mendidih di panci dan desis minyak di penggorengan, menjadi musik yang indah di telingaku. Dentuman pisau dan talenan kayu yang beradu seolah membawa kenangan saat Mama membawaku ke restoran tempatnya bekerja sebagai sous chef. Hal itulah yang membuatku jatuh cinta dengan dunia memasak. Sepertinya kemampuanku berasal dari genetiknya.
“Nah, selesai,” kataku puas melihat lima piring dengan isian berbeda yang tersaji di meja makan. Roti bakar meses dan keju untuk Echa. Omurice kesukaan Edith. Roti isi daging asap dan telur ceplok milik Eiko. Emily seperti biasa meminta jus sayuran sebagai sarapannya. Aku sendiri membuat nasi goreng dengan sisa bahan yang digunakan tadi.
Kudengar derap langkah menuruni tangga dan kepala mereka pun muncul satu per satu di depanku.
“Pagi, Ez!” Serempak mereka menyapa dan menuju tempat duduk masing-masing. Aku tersenyum dan bergabung dengan mereka.
“Seperti biasa, sarapan ini luar biasa!” puji Edith si pemakan nasi.