Entah mana yang lebih baik, ditandai oleh trio Liam atau ditegur kepala sekolah yang mendadak muncul karena mendengar keributan di depan gedung. Keduanya sama-sama tidak menghasilkan hal yang baik. Inilah alasan aku berada di ruang kepala sekolah bersama keempat saudaraku yang tidak merasa bersalah sedikit pun. Aku yakin, murid-murid lain sedang mengintip dari pintu atau jendela ruangan ini.
Aku duduk di sofa besar untuk tamu di kelilingi oleh Emily dan Eiko di kiri, serta Edith dan Echa di kananku. Di depan kami duduk pria dengan kumis lebat dan rambut klimis ke belakang yang menjabat sebagai Kepala Sekolah.
“Apa maksud kalian berbuat seperti ini di sekolah saya? Ini sekolah tempat untuk belajar! Bukan untuk bergaya seperti model catwalk!” tegurnya keras. Wajahnya yang garang menatap kami satu per satu, dan tertuju padaku sangat lama.
“Kami hanya berniat menengok Ezra, Yang Terhormat Bapak Kepala Sekolah,” jawab Emily. Suaranya terdengar lebih berwibawa daripada kepala sekolah itu sendiri. “Kami harus memastikan bahwa dia sampai di sekolah dengan selamat, dan menjalani hari sekolahnya dengan menyenangkan,” tambahnya.
“Ini Sekolah Menengah Atas! Bukan Taman Kanak-kanak! Kalian tidak bisa seenaknya seperti ini! Ada peraturan yang harus ditaati. Kalau ingin mengantar dan menjemput sudah disediakan tempat di depan gerbang sekolah.” Kumis hitam lebat itu ikut bergerak naik turun seiring gerak bibir kepala sekolah.
“Kami hanya menengok dan melihat sebentar saja kok, Pak,” kata Edith. “Kalau hak ini dilanggar, nanti saya dan kawan-kawan akan mendemo sekolah ini!”
Aku menunduk dalam. Keinginanku untuk menenggelamkan diri di laut terdalam dan tak pernah muncul lagi semakin kuat tatkala mendengar ucapan Edith.
Kak Ed, nggak bisa baca situasi, ya? rutukku dalam hati.
“Heh! Demo juga ada aturannya! Saya juga bisa menuntut kamu karena mencemarkan nama baik sekolah!” Kepala Sekolah mencondongkan tubuh ke depan dan memicingkan mata. Sesekali dia memelintir kumis kanannya. Sempat kulihat nama yang terpampang di atas meja di samping sofa, Suherman.
“Maaf, Pak Suher, saya—”
“Herman!” Tiba-tiba saja beliau memotong kalimatku. “Panggil saya Pak Herman, bukan Suher!” protesnya.
“Ba-baik, Pak Herman,” jawabku.
“Masa Suher? Nggak keren!” Gumaman itu terdengar begitu jelas sehingga membuatku hampir kelepasan tawa.
Sudut bibir Emily terlihat sedikit berkedut menandakan dia juga susah payah menahan diri untuk tidak tertawa. Bahkan Edith pura-pura batuk dan Echa mengibas-ngibaskan tangan seolah kepanasan untuk menutupinya.
“Hahahaha!” Suara sopran Eiko yang melengking terasa memekakkan telinga.
“EHEM!” Pak Herman berdeham keras ketika Eiko masih tertawa tak terkendali. Segera saja Emily menendang kaki Eiko di bawah untuk menghentikannya.
“Tadi bukannya ada yang lucu?” Eiko terlihat bingung dengan wajah serius Pak Herman.
“Tolong anda bersikap sopan di sini!” tegur Pak Herman. Beliau tampak kesal.