Aku hanya berharap kehidupanku di sekolah menengah atas ini bisa lebih baik dari masa SMP dulu. Namun, sepertinya harapanku tidak terkabul mengingat kejaadian pagi tadi dan saat upacara permulaan tahun ajaran baru. Pidato singkat dari kepala sekolah sangat menyindirku. Tak heran, kini seluruh sekolah sudah mengenalku. Paling tidak, namaku telah menjadi bahan pembicaraan dalam setiap obrolan yang tidak sengaja aku dengar.
Perkenalanku dengan Sam, juga Ben dan Milo yang sekelas denganku sedikit menghibur. Mereka seperti anak baik-baik yang jarang membuat masalah.
“Pokoknya, Lian cs itu nggak usah diladeni. Nggak ada gunanya,” tegas Sam saat jam istirahat.
Aku mengangguk. Aku juga tidak ingin mencari gara-gara dengan Liam atau siapa pun.
Ben kemudian menyeletuk, “Ez, kakakmu asyik, ya?”
“Keren kayak di film-film!” Milo menyahut.
Aku mendelik tidak setuju dengan ucapan itu. Jangan sampai kakak-kakakku mendengar pujian yang dilontarkan teman-temanku. Mereka akan lebih berulah lagi.
“Lo anak cowok satu-satunya, Ez?” tanya Milo. “Enak tuh! Di rumah diperhatiin terus sama cewek-cewek.”
“Asyik? Keren? Enak? Menyiksa, tahu!” semprotku. Mereka belum merasakan bagaimana tersiksanya aku menjadi laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Mungkin dalam keluarga normal, enak dan menyenangkan. Namun, tidak dengan keluargaku yang penuh dengan orang-orang aneh. Kupikir, di antara kami berlima, akulah yang paling waras.
“Kakakku masih single semua, Ez?” Sam bertanya.
“Itu yang suaranya tinggi, cantik banget,” puji Ben.
“Jangan coba-coba!” Aku memperingatkan.
“Hahaha! Tenang aja, seleraku masih yang seumuran kok,” kelakar Ben. “Tapi, dia emang imut, ya?”
Kuanggukan kepala tanda setuju. Secara fisik, Eiko memang yang tercantik di antara mereka. Namun, sebagai adik yang baik, aku akan mengatakan jika semua perempuan itu cantik dengan caranya masing-masing dan bagaimana mereka melihat dirinya.
“Aku ke toilet dulu,” kataku dalam perjalanan kembali ke kelas, lalu berpisah dengan Sam, Ben, dan Milo.
Aku berjalan sambil membuka layar ponsel. Tidak memperhatikan langkah hingga ada tumbukan di bahuku.
“Sori,” kataku spontan kemudian tertegun.