Aku dan Empat Bidadari Reseh

Lirin Kartini
Chapter #7

BAB. 7 - PUPPY EYES

Pada akhirnya, aku terpaksa pulang bersama mereka. Turun dari mobil aku langsung menaiki tangga di dekat kasir butik yang masih ramai dengan pelanggan. Beberapa pegawai Emily cekatan melayani mereka dengan senyum ramah. Di lantai dua kafe juga sama sibuknya dengan di lantai satu. Bunyi mesin kopi dan aroma harum memenuhi seluruh ruangan.

Lagi ramai begini, malah ditinggal! Aku bersungut-sungut sambil terus menaiki tangga.

Kudengar derap kaki empat saudariku di bawah sana. “Ezra!” Emily memanggil, tapi aku tidak peduli.

Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Tas ransel yang tak bersalah kulempar ke sembarang tempat hingga membentur pintu dan jatuh dengan debam keras. Aku sendiri langsung rebah di kasur dan menutup kepalaku dengan bantal.

“Ezra! Ayo, keluar! Kita harus bicara!” Emily berteriak sambil menggedor-gedor pintu.

“Iya, Ez, ayo, keluar dulu!” sahut Eiko.

“Dia kayaknya ngambek deh!” Edith menyeletuk.

“Kak Ez! Jangan ngambek dong! Nanti aku nangis lho!” ancam Echa.

Suara-suara itu masih terdengar dan membuatku semakin frustrasi. Aku bangkit menuju pintu dan berteriak dari sana. “Aku nggak mau keluar, sampai kalian berhenti ngelakuin hal konyol kayak gini!”

Aku kembali ke tempat tidur dan memakai earphone. Tombol volume terpasang pada titik di mana gedoran di pintu tidak terdengar lagi. Kupejamkan mata dan membiarkan melodi yang menghentak dari penyedia musik di ponsel memenuhi gendang telingaku. Selama beberapa waktu, aku larut dalam dunia dan pikiranku sendiri.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, aku terbangun dengan kondisi ponsel mati. Rupanya benda itu sudah kehabisan daya akibat menyalakan musik secara nonstop. Segera kuisi daya ponsel itu dan beranjak keluar.

Tanganku sudah siap memutar gagang pintu ketika kusadari keadaan di luar tampak sunyi. Tidak ada pergerakan di luar sana, yang artinya, mereka sudah kembali dengan kesibukannya masing-masing.

Jam masih menunjukkan hampir pukul lima sore dan ruangan itu tampak senyap. Biasanya Echa sudah pulang dari les dan akan menggangu atau meminta sesuatu yang aneh padaku. Edith tidak akan pulang sebelum jam makan malam. Mengingat keramaian di butik dan kafe tadi, pastilah Emily dan Eiko masih di sana.

Aku menghela napas lega. Kupandangi ruangan yang tampak berbeda itu. Bekas piring makan di wastafel sudah tercuci. Tempat sampah sudah kosong dan terisi dengan plastik yang baru. Lantai pun tampak bersih mengilap dengan aroma apel menyegarkan.

Bibirku mengulas senyum. Rupanya mereka sadar akan kesalahannya. Ruangan yang bersih ini adalah bentuk permintaan maafnya padaku, seperti yang sudah-sudah. Namun, kali ini tidak akan semudah itu. Aku memutuskan tidak akan luluh hanya dengan cara basi ini. Mungkin terlihat konyol, tapi sikap mereka juga kekanak-kanakan.

“Kak Ez! Akhirnya keluar juga! Nggak kangen apa nggak ketemu aku?” Entah muncul dari mana, Echa langsung menghambur memelukku yang sedang duduk di sofa dengan televisi menyala.

“Nggak!” jawabku ketus tanpa menyingkirkan tangan Echa yang melingkar di pinggang. Aku lebih asyik merogoh bungkus keripik kentang dan menyuap ke mulut.

“Iiih, Kak Ez masih ngambek, ya? Kayak anak kecil aja!” Echa melepas pelukannya saat tidak mendapat respons dariku.

Lihat selengkapnya