Tiga hari masa pengenalan sekolah, bisa kulalui dengan cukup baik, atau lebih tepatnya melelahkan. Bagaimana tidak, Liam hampir selalu mengejekku setiap berpapasan di koridor, lapangan, atau kantin. Terkadang, dia sengaja melewati kelasku hanya untuk sekadar bersikap sombong di depan anak-anak perempuan.
“Woi, Anak Mami! Nggak diantar lagi nih hari ini?” seru Liam yang diakhiri dengan tawa keras. Seperti biasa David dan Nevan mengikutinya.
“Nggak diantar kok, tapi dijemput!” David menambahkan.
“Nggak boleh ke mana-mana, harus langsung pulang!” Nevan tidak mau kalah.
“Malu-maluin!” Liam tertawa lagi.
Aku yang sedang duduk di kelas untuk bermain game bersama Sam, hanya melirik sekilas lalu membuang muka. Sudah kuputuskan tidak akan meladenin ocehannya.
“Ezra!” Kali ini Liam memanggil dengan namaku. Mau tak mau aku menoleh. “Gue ngerasa kasihan banget sama lo. Pasti tersiksa banget hidup kayak lo!” katanya.
Gelak tawa anak-anak lain di depan kelas pecah menanggapi kelakar Liam, yang bagiku tidak lucu sama sekali. Namun, tawa itu dengan cepat mereda, saat Pak Herman, sang kepala sekolah lewat. Otomatis anak-anak menyapa dengan ramah.
“Selamat siang, Pak!” sapa Liam dengan nada berlebihan. Tubuhnya memang menghadap beliau, tapi sorot mata itu tetap tertuju padaku.
“Gunakan jam istirahat dengan baik! Jangan bikin keributan di sini!” tegur Pak Herman sambil menatapku melalui jendela kelas, seolah menyindir kehebohan waktu itu.
Oh, sekarang, Kepala Sekolah juga ikut-ikutan? Aku jadi semakin kesal.
“Ya, sudah. Sekarang kembalilah ke kelasmu!” Pak Herman kemudian pergi.
Liam kembali menatapku dengan seringai di wajahnya. Dia hendak masuk ke dalam, tapi terhenti oleh gadis yang menyelanya.
“Tolong, jangan berdiri di depan pintu,” tegurnya. Dia adalah gadis yang menabrakku beberapa hari lalu. Namanya Clara dan yang membuat hatiku senang, dia sekelas denganku. Perasaan menang dari Liam pun terasa nyata, apalagi mendengar nada dingin dari gadis itu.
“Oh, hai, Clara. Mau masuk, ya?” Suara Liam terdengar memuakkan di telingaku. Dia lalu mundur selangkah dan berkata, “Silakan, Princess.”
“Bagus! Sekarang kembali ke kelasmu. Kamu nggak dengar tadi Pak Herman bilang apa?” Clara menatap Liam dengan ketus.
“Bentar, Cla. Aku mau ngomong sama kamu.” Liam meraih lengan Clara yang langsung ditepis.