Ada alasan mengapa aku tidak mengikuti klub memasak yang sesuai dengan minat dan kesukaanku. Seperti yang Sam katakan waktu itu, jika klub ini masih didominasi oleh anak perempuan. Apa jadinya bila Liam tahu aku masuk klub memasak? Oh, tentu dia akan sangat senang sekali mengejekku. Mungkin akan lebih parah dari sekadar sebutan anak mami, dan aku tidak menginginkan hal itu.
Aku benar-benar berharap tidak salah memilih klub. Tentu aku bisa bermain dengan baik meski tidak jago. Paling tidak, aku bisa menembak dari jarak dekat dan sering tepat sasaran. Hanya saja, sudah lama aku tidak memainkan bola oranye ini. Mungkin akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk beradaptasi.
Pendaftaran semua klub baru dibuka minggu depan dengan mengisi formulir. Di waktu yang sudah ditentukan, aku dan Sam mengantre di depan aula basket bersama anak-anak lainnya, laki-laki dan perempuan. Sepertinya akan ada seleksi untuk masuk klub yang ternyata cukup populer ini.
“Tenang aja, ntar aku bantu,” kata Sam saat aku menjelaskan kekhawatiranku. “Kita bisa pemanasan dulu sebentar sebelum mulai.”
Aku mengangguk lega.
“Emangnya waktu SMP kamu masuk klub apa?” Sam bertanya.
“Komputer. Tapi, lebih banyak main game-nya sih.”
“Tapi, kamu bisa, ‘kan?” Sam menatapku. “Basket.”
Lagi, kepalaku mengangguk sebagai jawaban. Aku tidak bohong. Aku memang bisa, tapi bukan hobi. Aku hanya melakukannya saat pelajaran olahraga.
“Oke. Gampang kalau gitu.” Sam kembali memandang antrean di depan kami yang semakin berkurang.
Aku menulis nama dan kelas di formulir yang disediakan lalu masuk ke dalam. Aula itu sangat luas dan tinggi dengan tribun penonton di atas, layaknya stadion berstandar nasional. Celotehan anak-anak memantul di dinding aula sehingga menimbulkan gema.
Di ujung lapangan, anak-anak perempuan berkumpul dengan pelatih mereka. Sepertinya sedang menjelaskan peraturan dan semacamnya. Sedangkan murid laki-laki yang terlihat sebagai anggota senior klub ini tampak berlarian mendribel bola dan menembak ke ring. Tepuk tangan memenuhi aula saat bola tersebut masuk dalam jarak tiga poin.
Aku mengenali sosoknya. Seketika hatiku mencelos.
“Wah, Anak Mami! Lo masuk klub ini? Nggak salah?” Liam berlari mendekat dengan seringai sinisnya. David, Nevan, dan beberapa anak lainnya ikut menghampiri.
“Kalau kepala lo kena bola, ntar gue yang disalahin sama kakak-kakak lo itu!” tambahnya lalu tertawa keras.
Sial! Kenapa aku malah masuk ke kandang harimau? Aku melirik Sam yang berdiri kaku di samping. Sepertinya dia juga terkejut melihat kehadiran Liam.
“Sammy!” Mata Liam terbuka lebar, berpura-pura terkejut mendapati Sam yang ada di sampingku. Dua tangannya terentang untuk menyambut Sam, seolah-olah mereka adalah teman lama yang terpisah dan bertemu kembali. “Welcome! Kita bisa nostalgia bareng nanti, ya!”