Aku dan Empat Bidadari Reseh

Lirin Kartini
Chapter #10

BAB. 10 - SISI LAIN EIKO

Edith ternyata membawaku ke tempat teman-temannya berdemo. Entah katanya kurang orang, tapi menurutku, kehadiranku tidak membawa dampak besar. Aku jadi merasa sia-sia menuruti ajakannya yang katanya urgen. Aku pun menyesal tidak bisa menolak permintaannya.

Ya, terus terang saja, aku tidak bisa, lantaran Edith langsung menarikku pergi tanpa penjelasan. Tahu-tahu aku sudah berada di lokasi dan diberi papan spanduk orasi. Edith menyuruhku ikut berteriak-teriak, meski tidak mengerti apa yang mereka orasikan.

“Pokoknya ikutin aja gerakan mereka! Biar kelihatan kompak dan rame!” kata Edith.

Setelah berteriak-teriak tidak jelas selama hampir satu jam, kerumunan itu pun bubar. Aku terduduk lelah di trotoar dengan badan bau penuh keringat. Edith menghampiriku sambil menyerahkan botol air mineral dingin dan nasi kotak.

“Makan dulu sebelum pulang. Lumayan, ‘kan?” Edith tertawa sambil melahap makanannya.

Aku dan Edith tiba di rumah ketika waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Emily dan Eiko sudah menunggu di depan butik meski di dalam masih ada pelanggan yang sedang memilih pakaian.

“Ezra! Dari mana aja baru pulang jam segini?” sembur Emily ketika kami sudah mendekat. Dia pasti cemas apalagi ketika melihat wajah kami yang tampak kuyu dan berantakan.

“Kalian kok bisa berdua pulangnya?” Eiko menyadari Edith di sampingku.

Mendadak Emily mengalihkan pandang pada Edith yang masih cengar-cengir. Sorot matanya tajam menusuk seraya menegur, “Edith!”

“Sori, aku tadi butuh bantuan Ezra, jadi ya ….”

Emily menarik napas panjang dan membuangnya perlahan sebelum berkata datar, tapi tegas. “Edith, jangan bawa-bawa Ezra dalam masalahmu. Selesaikan masalahmu sendiri dengan benar, dan fokus kuliah kalau nggak mau beasiswamu dicabut!”

Kulihat Edith hanya mengangguk lalu masuk ke dalam. Sebelah tangannya membentuk huruf V di belakang punggung yang ditujukan padaku. Gerak bibirnya mengatakan, “Sori.”

Aku menatap Emily. “Sori, Kak, aku─”

“Lain kali, kamu harus bisa menolaknya, Ez. Aku sendiri bingung gimana urusin kakakmu yang satu itu.” Emily menatap punggung Edith yang sedang menaiki tangga.

“Capek, ya? Mau minum yang hangat dan manis dulu?” Eiko memberi tawaran yang tidak bisa kutolak.

Segera saja aku dan Eiko menaiki tangga dan masuk ke kafe yang saat itu tidak terlalu ramai. Di kafe yang didominasi warna hitam dan putih dengan sentuhan daun-daun sintetis yang merambat di dinding itu hanya terlihat dua pasang pengunjung yang duduk di dekat jendela.

Aku menarik kursi yang berhadapan langsung dengan mesin pembuat kopi. Dua orang pegawai lainnya menyapaku ramah.

“Biar aku yang bikin.” Kudengar Eiko berkata demikian saat orang itu menanyakan tentang pesananku.

Lihat selengkapnya