Aku dan Empat Bidadari Reseh

Lirin Kartini
Chapter #11

BAB. 11 - FAMILY FIRST

“Kak Rendi itu sering datang ke sini. Biasanya ngobrol sama Kak Ei.”

“Kalau Kak Ei lagi nggak di tempat, dia balik nggak beli apa-apa. Kalau ada Kak Ei, betah di sini berjam-jam sambil pesen macem-macem.”

Aku menghela napas panjang mengingat obrolanku dengan dua pegawai Eiko di kafe. Sepertinya pria itu memang berniat mendekatinya. Entah dia benar-benar menyukainya atau seperti pria-pria iseng lainnya yang hanya memanfaatkan kepolosan Eiko.

Eiko sendiri terlihat bahagia ketika bertemu orang itu. Kalau saja Echa tidak menabraknya, mungkin hubungan mereka masih berlanjut. Aku tahu Eiko pasti sedih dan patah hati, tapi lebih baik ketahuan sekarang ‘kan daripada terlambat?

Tiba-tiba aku teringat Echa, bocah yang menjadi pemicu kemarahan Rendi. Situasi yang canggung tadi membuatku lupa apa yang menyebabkan gadis itu lari terburu-buru.

Aku pun segera ke kamar Echa yang berada di sisi kiri tangga. “Echa! Kamu belum tidur, ‘kan?” teriakku sambal menggedor pintu. Kemudian terlintas di pikiranku, bahwa caraku mengetuk pintu sama dengan Emily, sementara Edith dan Echa biasanya langsung masuk tanpa permisi. Eiko, dari empat saudaraku, hanya dialah yang paling kalem dan tahu sopan santun.

Wajah Echa muncul di balik pintu yang terbuka sedikit. “Apa sih? Berisik!” semburnya dengan bibir cemberut.

Mataku otomatis mengintip ke belakang Echa. Di kamar yang terdiri dari dua tempat tidur itu, punggung Eiko tampak bergeming di salah satunya.

“Kak Ei nggak apa-apa. Dia lagi chatting sama Kak Ren. Kayaknya Kak Ren benar-benar menyesal,” jelas Echa tanpa kutanya. “Cuma … Kak Ez tahu sendiri gimana Kak Ei. Dia akan menolak siapa pun yang mengganggu kita, adik-adiknya. Meski itu menyakiti dirinya sendiri.”

Aku tertegun melihat bahu Eiko yang tampak merosot. Sepertinya dia sedang dalam kondisi yang tidak baik.

“Kak Ez sendiri ngapain ke sini? Ini kamar cewek!” Echa berkata ketus.

Aku mendengkus. “Hah! Gara-gara siapa coba kejadian kayak gini?”

Echa tertawa kecil. Dia memain-mainkan rambut dengan ujung jarinya. Kemudian aku teringat tujuanku ke sini.

“Oh, Cha, tadi kamu ngapain sih buru-buru lari?” tanyaku.

Mata Echa dan mulutnya kompak membulat. Namun, sejurus kemudian bibir mungilnya mengatup lagi. “Nggak jadi. Nggak apa-apa. Aku juga ngerasa nggak enak sama Kak Ei. Gara-gara aku ….”

Aku menyentil dahi Echa dengan gemas. “Iya, ini semua gara-gara kamu!”

“Iiish! Sakit, Kak!” Dia mengaduh sambil mengusap dahinya.

“Udahlah, sana tidur! Jangan bergadang. Tuh, di bawah matamu ada hitam-hitamnya.” Sengaja aku menunjuk wajah Echa.

“Masa?” Gadis itu langsung meraba bawah matanya. “Kelihatan? Beneran kelihatan?” Echa mulai panik. Tampangnya kali ini benar-benar polos seperti anak kecil.

Lihat selengkapnya