Sudah lebih dari satu bulan aku menjalani kehidupan SMA bersama Sam, Ben, dan Milo. Tidak ada masalah dengan pelajaran atau interaksiku dengan teman-teman lain. Apa yang kualami juga cukup menyenangkan. Apalagi ada gadis cantik di kelas yang bisa kupandang saat menghadap ke papan tulis.
Kegiatan klub pun sebenarnya menyenangkan, tapi jadi melelahkan karena Liam yang selalu mencari gara-gara. Kadang tingkah dan ucapannya tidak bisa ditebak. Aku yang sudah cukup pusing dengan kelakuan empat saudariku, masih ditambah dengan ke-absurd-an Liam.
Okelah, sejak awal aku masuk di sekolah ini, aku sudah menjadi terkenal tanpa diminta dan bukan kemauanku. Sekarang, coba kalian tanya pada anak atau guru yang lewat di mana pun di area sekolah ini, tidak ada yang tidak mengenal Ezra, bocah culun dengan saudara-saudaranya yang antik di hari pertama sekolah dan “teman” Liam. Sengaja aku memberi tanda kutip pada kata teman itu.
Liam selalu mengatakan pada semua orang, bahwa kami adalah teman. Teman yang dimaksud tentu saja bukan seperti pertemananku dengan Sam, Ben, dan Milo, atau lainnya. Teman menurut Liam adalah orang yang akan menuruti semua kemauannya, menjadi pelampiasan saat dia sedang marah atau kesal.
“Yo, Ezra my friend!” seru Liam sambil merentangkan tangan menyambut kedatanganku di aula basket sore itu.
Aku melengos dan tidak menghiraukan sebelah alisnya yang terangkat tanda heran. Aku dan Sam meletakkan tas di tepi lapangan yang agak jauh dari Liam, lalu mulai melakukan pemanasan.
“Sori, Ez,” kata Sam tiba-tiba. “Gara-gara temenan sama aku, kamu juga jadi sasaran Liam.”
Aku mendengkus kecil. “Nggak temenan sama kamu pun, kayaknya aku bakal kena sama Liam karena kelakuan kakak-kakakku.”
“Tapi, sebenernya dia baik kok, Ez.” Untuk ke sekian kalinya Sam mengatakan hal itu. Yang aku heran, dia juga tidak pernah membalas atau marah dengan perbuatan Liam.
“Aku tahu kamu dan Liam udah kenal lama, tapi tetap nggak membenarkan tindakannya ke kamu, ‘kan? Itu termasuk pembullyan!” seruku agak kesal.
“Nggak ada gunanya melawan. Kamu bilang pernah ngalamin waktu SMP. Jadi seharusnya, kamu tahu maksudku.” Sam menatapku.
Mendadak aku tidak bisa menjawabnya. Ingatanku kembali ke masa lalu. Saat itu, apa yang kualami jauh lebih parah dari sekarang. Pernah aku mencoba melawan, membantah, atau menghindar, tapi tidak satu pun berhasil. Sudah tidak terhitung berapa kali aku masuk ke ruang BK dan UKS tanpa mengatakan hal sebenarnya pada Emily yang saat itu sudah menjadi pengganti ibuku. Mungkin aku beruntung, karena perundungan itu berakhir ketika sang pelaku mengikuti orang tuanya pindah ke luar kota.
Sam mendahuluiku ke tengah lapangan. Kulihat Liam menyeringai senang di sana. Tak lama, kami pun berlatih secara bergantian. Liam terlihat paling senang jika melawan aku, atau mungkin bisa disebut “melatih”-ku?
Kuakui, kemampuanku masih rata-rata. Tidak sebaik Liam atau Sam yang memang menekuni bidang ini sejak lama. Lemparan dan lompatan keduanya nyaris tak pernah meleset. Aku tidak minder. Hanya saja, setiap kali aku bermain, Liam-lah yang paling keras meneriakiku. Kadang terdengar seperti menyemangatiku, tapi tak jarang juga terkesan mengejek.
“Ayo, Ezra! Tunjukkan kemampuan lo! Masa kalah sama yang cewek di sana?!” Liam berteriak dari tepi lapangan.
“Come on, Ez! You can do it! Go! Go! Go!” serunya di lain waktu.