Di satu sisi, aku cukup lega mengetahui Liam masih “normal” karena dia jelas-jelas menyukai Clara. Namun di sisi lain, aku merasa kesal karena kami menyukai orang yang sama. Ya, aku akui aku tertarik pada Clara. Siapa yang tidak menyukai gadis seperti dia? Sudah cantik, baik, dan ramah. Senyumnya itu mampu membuatku terbang ke awang-awang.
Lebay? Tentu saja! Namanya juga sedang jatuh cinta. Hanya melihat senyumnya di pagi hari saja bisa meningkatkan mood-ku. Sayangnya, kehadiran Liam selalu merusaknya.
Seperti hari ini. Sam, Ben, dan Milo mengelilingi mejaku setelah berbagi informasi tentang kompetisi basket antar sekolah. Kami sedang membahas tentang siapa saja pemain inti yang ikut serta.
“Sam! Ez! Lo-lo pada mesti ikut nih!” Milo menunjukku dan Sam. “Gue jamin pelatih bakal ngadain seleksi pemain lagi untuk ikut kompetisi,” tambahnya dengan penuh keyakinan.
“Kamu aja, Sam, lebih pro.” Aku menyikut Sam.
“Aku sih ikut aja apa kata pelatih. Kamu mungkin bisa ikut juga, Ez.”
Aku menggeleng. “Nggak lah. Masih ada yang lebih baik dari aku.”
“Siapa pun yang ikut, aku dukung semua!” seru Ben.
“Eh, kira-kira siapa aja nih yang bakal terpilih sebagai pemain inti?” Milo mengajukan pertanyaan dengan mata berbinar-binar. “Taruhan Liam pasti ikut!”
“Jelas lah, dia ‘kan kaptennya!” sergah Ben.
Aku setuju. Sebagai kapten, Liam adalah orang yang tepat. Permainannya oke. Tubuhnya yang tinggi menjadi andalan. Geraknya pun gesit. Tak heran, dia selalu bisa menyombongkan diri karena memang benar dia punya kemampuan di atas rata-rata. Aku sama sekali tidak malu mengakuinya.
Cuma … sikapnya justru di bawah rata-rata, gerutuku dalam hati.
Berikutnya, aku yakin Sam juga akan terpilih. Dia bisa mengimbangi kecepatan Liam, dan lemparannya pun bagus. Nevan dan David mungkin akan lolos juga, tapi peluang Nevan lebih besar.
Keseruan memperkirakan siapa saja yang akan dipilih untuk kompetisi tidak berlangsung lama. Baru saja menutup mulut untuk mengambil napas, terjadi keributan di depan kelas.
Tanpa menoleh pun, aku sudah mengetahui penyebab jeritan dan pekikan tidak jelas itu. Aku tidak habis pikir, apa gadis-gadis itu tidak bosan dan capek berteriak histeris setiap kali dia datang? Bukannya hampir setiap hari mereka melihatnya? Orang itu juga selalu beredar di seluruh area sekolah ini.
Dasar lebay! Caper! Berisik! makiku dalam hati lalu kembali dengan mencoret-coret kertas berisi nama kandidat pemain inti untuk kompetisi.
“Woi, Ezra si Anak Mami!” Liam berteriak dari depan pintu kelas. Dengan santai, dia masuk dan menyenggol anak lain tanpa merasa bersalah.