Emily terlihat menaiki tangga saat aku baru saja tiba di depan butik. Langkahnya tampak tergesa dan membuatku heran, karena butik masih buka dan cukup ramai di sore hari. Jawaban atas keherananku muncul saat tiba di depan pintu kafe.
“Ezra!” Eiko memanggilku.
Aku menghampirinya dan langsung bertanya sambil melihat ke atas tangga. “Kak Em tadi—”
“Besok subuh siap-siap, ya. Kita ke Mama.” Eiko memotong ucapanku. Kemudian dia berbisik sambil menunjuk ke atas, “Kak Em kangen katanya.”
Tanpa bertanya lagi aku mengangguk, meskipun kami sudah mengunjunginya sebelum sekolah dimulai. Yang namanya kangen tidak bisa dicegah atau diatur, ‘kan?
Di depan kamar Emily yang sedikit terbuka, aku mengintip ke dalam. Wanita yang selalu terlihat kuat dan tegas itu, tampak lemah tak berdaya. Bahunya berguncang dan isak tangis terdengar darinya.
Sudah sekian tahun Mama pergi, baru sekali ini Emily menunjukkan dirinya yang rapuh. Aku tidak tahu apa sebabnya, tapi kurasa setiap orang menyimpan semua emosi terburuknya dalam-dalam. Tinggal menunggu waktu saja saat semuanya akan meluap dan menghancurkan tiang yang kokoh sekalipun.
Dalam keheningan kamar, aku memikirkan ucapan Eiko. Meskipun aku yang paling dekat dengan Mama, tapi entah mengapa aku tidak terlalu merasa kangen. Padahal sejak awal hingga akhir, aku selalu berada di sisi Mama. Seharusnya, yang paling merasa kangen adalah aku, tapi nyatanya tidak. Mungkin karena aku masih bisa merasakan kehangatannya, meski raganya sudah tiada. Entahlah ….
Besoknya, kami berlima sudah mengelilingi pusara batu Mama. Aroma rumput basah dan pepohonan terhidu oleh indra penciumanku. Pagi hari memang saat yang tepat untuk mengunjungi tempat ini. Udara masih bersih dan sejuk.
Selama beberapa menit, tidak ada satu pun kata terucap dari mulut kami, tapi aku yakin masing-masing hati kami telah berbicara banyak. Kupandangi nisan bertuliskan nama Mama dan bunga yang kami tabur, lalu tatapku tertuju pada Emily.
Kakak pertamaku itu terdiam cukup lama sambil sesenggukan. Aku seolah ikut merasakan beban yang dipikulnya amat berat. Setelah pertunangannya batal karena lebih memilih mengurus kami, Emily tidak pernah lagi menjalin hubungan dengan siapa pun. Kadang kala aku ingin bertanya, apakah dia menyesali pilihannya? Hanya sekadar dalam pikiran. Aku sama sekali tak punya keberanian untuk bertanya. Namun, melihatnya sekarang, sepertinya aku sedikit memahami perasaannya.
Matahari bergerak semakin tinggi. Kami pun kembali ke mobil, menyusuri jalan raya yang mulai ramai dengan kendaraan. Belum ada pembicaraan yang berarti sejak tadi.
“Oh, ya, Ez. Kamu ikut klub basket, ya?” Tiba-tiba Emily bertanya dari kursi depan. Aku memang pernah memberitahunya saat pulang terlambat karena kegiatan klub yang diadakan sepulang sekolah.
“Basket? Bukan memasak?” Eiko yang duduk di samping Emily menoleh padaku. Kurasakan pula Edith dan Echa menatapku.