Aku dan Empat Bidadari Reseh

Lirin Kartini
Chapter #16

BAB. 16 - PERGI SENDIRI

“Kak Em! Tolong, jangan ngebut lagi!” seruku ketika kendaraan yang kami tumpangi sudah berhenti di depan toko. Napasku masih terengah-engah karena Emily ngebut tidak keruan dan membuat jantungku nyaris copot.

“Sori,” jawab Emily sambil mengacungkan dua jari membentuk simbol “Peace” lalu tertawa.

“Tapi, Kak, aku beneran nggak perlu baju ini.” Aku masih berusaha menjelaskan saat kami semua sudah turun dari mobil dan masuk ke dalam toko.

Namun, sepertinya Emily tidak peduli. Dia tetap melakukan niatnya dengan menyuruh Eiko dan Edith berpencar mencari pakaian yang cocok untukku. Sementara Echa berkeliling sendiri.

Untuk urusan pakaian, Edith memang paling jago. Dia lebih mirip penata busana kami di rumah. Hampir setiap pakaian yang dibeli atau di-mix and match olehnya tampak keren. Termasuk dress code yang mereka pakai saat mengantarku di hari pertama sekolah. Memang bagus, hanya saja tidak sesuai tempat dan waktu. Aku masih merasa malu bila mengingatnya.

Bila Edith dan Eiko tampak puas, berbeda denganku yang terpaksa diam saja saat dua kakakku itu bergantian mematut-matutkan baju di badanku. Aku harus mencari cara untuk menolaknya. Aku tidak suka mereka memberi perhatian berlebih padaku, apalagi hanya untuk masalah remeh ini.

“Nggak usahlah, Kak. Nanti kami juga dapat seragam kok.”

Emily tidak menghiraukan penjelasanku. Dia memberikan beberapa potong pakaian dan mendorongku ke fitting room. “Satu aja. Coba dulu,” katanya.

Sabar itu ada batasnya, dan kali ini aku sudah mencapai batas itu. Kuletakkan tumpukan baju itu ke tangan Edith yang berdiri di dekatku dan berkata dengan nada tinggi, “Kak! Aku nggak mau!”

Edith terkejut, begitu pula dengan Emily dan Eiko. Tidak biasanya aku berbicara dengan nada tinggi dan marah seperti itu. Seketika aku merasa bersalah, tapi aku merasa harus melakukannya.

Di saat seperti itu, Echa malah menghampiriku sambil menunjukkan bola oranye di tangan. “Kak, beli ini juga, ya? Nanti ajarin aku main basket!” katanya.

“Nggak, Cha!” Tanganku menepis bola itu hingga jatuh dan menggelinding di lantai. Aku menatap Echa sebentar lalu keluar dari toko.

Matahari sudah bergerak lebih tinggi ketika aku berhenti berjalan dan memperhatikan sekeliling. Rupanya aku sudah berada cukup jauh dari toko tadi. Tiba-tiba saja ada perasaan bersalah yang menyusup di hati.

Seharusnya aku tidak perlu berteriak seperti itu. Bukan sifatku meledak-ledak karena emosi. Aku menggaruk kepalaku dengan gusar lalu mendudukkan diri di bangku yang memang disediakan di trotoar.

Segera kuambil ponsel dan hendak menekan nomor Emily, tapi urung. Aku beralih membuka grup percakapan yang berisi kami berlima. Sepertinya lebih baik mengirim pesan saja. Aku khawatir kalau bicara dalam kondisi sekarang, akan menyakiti mereka lagi.

 Ternyata Emily sudah mengirim pesan lebih dulu. Ponselku dalam mode senyap sehingga tidak tahu keberadaan pesan yang dikirim sekitar satu jam lalu.

Lihat selengkapnya