Aku dan Empat Bidadari Reseh

Lirin Kartini
Chapter #17

BAB. 17 - ROMANTIC COMEDY

“Kok bisa gini sih? Gimana ceritanya?” bisik Sam yang duduk di sampingku.

Pada akhirnya kami berempat, berada di mobil milik ayah Clara yang dikemudikan Liam. Clara duduk di sampingnya, sementara aku dan Sam berada di belakang.

Tadi Sam cukup terkejut melihat keberadaanku bersama Clara dan Liam di depan rumahnya. Clara hanya mengatakan kami semua akan pergi bersama dan menyuruhku menunggu dulu, sementara dia dan Liam mengambil mobil.

Aku pun menjelaskan dengan singkat pertemuan kami yang tidak disengaja. “Ini semua ide Clara,” jawabku pelan.

“Ide yang bagus, ‘kan!” Clara yang sepertinya mendengar ucapanku menoleh ke belakang. Menatapku dan Sam, lalu Liam. “Liam, kamu jangan cemberut terus dong! Kita udah lama nggak jalan bareng, masa mukamu kayak gitu? Mending tadi aku pakai sopir aja.”

“Nggak kok. Nih, aku senyum.” Liam sepertinya membuat ekspresi lucu yang tidak bisa kulihat dengan jelas karena posisiku duduk di belakangnya. Namun, Clara tertawa karena Liam. Tawa yang manis sekali sampai aku tidak bisa berhenti memandangnya.

Sam sedikit menendang kakiku agar aku berhenti menatap gadis itu. Rupanya Liam sedang mengamataiku dari kaca spion. Sorot matanya menunjukkan senyum mengejek.

Apa pun yang aku rasakan saat itu, yang pasti, empat remaja dengan hubungan rumit ini tiba di sebuah mal yang belum terlalu ramai. Kami berputar-putar di lantai satu kemudian naik lantai dua. Dalam perjalanan itu, kepalaku masih mempertanyakan, bagaimana bisa perundung dan korban, atau mungkin saingan, bisa berjalan bersama-sama seperti ini? Aneh memang, tapi dari kebersamaan ini, aku bisa mengetahui sisi lain seorang Liam dan Clara.

Aku dan Sam yang berjalan di belakang mereka, bisa melihat dengan jelas interaksi keduanya yang akrab. Clara kadang memukul Liam sambil tertawa karena gurauannya. Liam pun tampak seperti bocah jika bersama Clara karena sering bertingkah konyol, tapi tetap terlihat kedewasaannya.

Jujur saja, aku sedikit iri. Ya, sedikit, karena aku mengakui level Liam ada di atasku. Dia sempurna dari segi fisik dan penampilan. Bagiku, kekurangan Liam ada pada sikapnya yang semena-mena.

Aku sendiri lumayan lambat dan kaku untuk urusan cewek. Padahal seisi rumahku cewek semua, meski tidak bisa dibandingkan antara Clara dan empat saudaraku yang … begitulah. Andai saja Liam tidak lebih dulu membuat masalah denganku, kami mungkin bisa berteman baik. Mungkin aku juga akan mundur teratur dan mengalah. Sam menyikutku tanpa berkata apa-apa dan aku hanya bisa menghela napas.

“Eh, Ezra.” Clara menoleh padaku sambil terus berjalan. “Tadi kamu dari mana sih? Kok bisa kebetulan ketemu di warung bubur? Memangnya rumahmu deket sana, ya? Sendirian pula.”

“Oh, iya, ya, tumben nggak dikawal? Nanti—ouch!” Liam meringis karena Clara mencubit lengannya.

“Oh, tadi habis ke makam orang tuaku. Terus pisah sama sodara-sodaraku yang langsung pulang.” Jawabanku itu rupanya membuat mereka terkejut. Tiga-tiganya berhenti mendadak. Beruntung aku masih sempat mengerem langkahku.

“Oh, sori, aku nggak tahu,” kata Clara dengan tatapan sedih, sementara Liam menatapku sebentar lalu berpaling ke arah lain. “Jadi, karena itu kamu tinggal sama saudara-saudaramu? Makanya kelihatan deket sama mereka,” tambahnya sambil tersenyum. Liam masih menatapku dengan sinis.

‘Sori, Ez, aku nggak ngerti kalau ….”

Aku segera memotong ucapan sam. “Aku yang nggak cerita. Jadi nggak perlu merasa bersalah.”

Lihat selengkapnya