“Udah, Ez, ngapain sih cemberut aja? Pagi-pagi muka udah ditekuk aja. Ntar gantengnya ilang lho!” Emily berkata dari balik kemudi di depanku. Matanya menatap spion yang menampilkan muka suramku.
“Iya, Ez. Masa ganteng-ganteng kusam sih?” Eiko ikut menyeletuk di samping Emily.
“Aku malah seneng banget bisa berangkat bareng. Nggak perlu sempit-sempitan di mobil antar jemput,” ujar Echa yang duduk di sampingku.
Kecuali Edith yang katanya libur karena sang dosen berhalangan, semua saudaraku duduk di dalam mobil yang sama denganku. Yup, hari ini Emily bersikeras mengantarku meski aku juga telah menolaknya dengan keras. Emily beralasan, dia dan Eiko akan pergi membeli persediaan untuk kafe, jadi sekalian saja.
“Mumpung searah lho, Ez. Kamu bisa hemat ongkos dan nggak perlu nunggu lama juga.” Emily masih berusaha meyakinkan bahwa ini adalah jalan terbaik.
Aku hanya diam dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Kualihkan pandang ke luar jendela. Dalam hati berdoa semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Di sini aja, Kak!” pintaku ketika gerbang sekolah sudah terlihat.
Emily tampak bingung dan menoleh ke belakang sebentar sebelum kembali fokus menyetir. “Ini masih jauh, Ez. Nanti aja di depan sekolah.”
“Nggak usah, Kak! Di sini aja!” Aku memaksa.
Setelah perdebatan tidak penting itu, Emily akhirnya menurut dan berhenti sekitar seratus meter sebelum gerbang. Ini lebih baik daripada harus turun di depan gerbang dan mengulangi kejadian yang sama.
Lagi, Emily masih mempertanyakan alasanku turun di sini saat aku sudah menutup pintu mobil. Sementara itu, Eiko dan Echa hanya saling bertukar pandang tanpa mengatakan apa pun. Mungkin mereka sudah memahami maksudku.
“Nggak usah dijemput juga!” peringatku tegas yang membuat Emily bungkam.
“Ok, Ez, sampai nanti kalau begitu!” Kakak pertamaku itu mengalah. Dia lalu melambaikan tangan sebelum mobil pergi.
Helaan napas panjang lolos dari bibirku saat MPV merah itu sudah menjauh dan mulai berjalan. Di sekitarku mulai terlihat murid-murid lain dengan tujuan yang sama. Sesekali kutendang kerikil kecil yang menghalangi jalan. Lalu mataku menangkap sosok yang sepertinya sedang menungguku.
Oh, tidak tepat seperti itu. Maksudku, aku melihatnya turun dari mobil dan sempat berjalan ke gerbang. Namun, saat dia menoleh dan tak sengaja bertatapan denganku, langkahnya berhenti.
Jantungku berdebar tidak keruan. Gugup juga kurasakan saat kaki ini mulai mendekati sosok yang kemudian tersenyum padaku. Aku sampai harus mengerjapkan mata untuk memastikan senyum itu benar ditujukan padaku. Bahkan aku menoleh ke belakang untuk melihat mungkin ada orang lain yang sedang disapanya.
Apa dia sengaja menungguku? Pikiranku mulai melantur tidak jelas. Hatiku senang, tapi akal sehatku mengatakan sebaliknya. Jangan kepedean, Ez. Ingat apa yang Sam bilang, dia itu emang baik dan ramah ke semua orang!
“Pagi, Ezra.” Clara menyapaku. Tentu dengan senyuman yang mampu membuat tubuhku meleleh.
“Eh … pa-pagi juga,” balasku gugup. Seketika otakku memaki diri sendiri.
“Diantar kakakmu, ya? Tadi sempat lihat.” Clara menunjuk ke tempatku turun dari mobil.