“Ezra! Sini dulu!” Terdengar Milo memanggil dari rak sebelah.
Aku dan Ben menghampiri Milo. Sam sendiri berada di rak lain untuk mengambil bahan yang kuminta padanya.
“Apa?” tanyaku.
“Ini bilangnya terigu. Tapi, yang mana? Banyak banget merek dan jenisnya.” Milo menggaruk-garuk kepala sambil menunjukkan catatan bahan di tangannya. “Lo nggak nulis yang protein apa. Jadi, bingung gue.”
Aku tertawa lalu mengambil barang yang kumaksud. “Yang ini,” kataku geli. Kuserahkan bungkusan itu pada Milo.
“Yaelah! Nggak ada tulisannya. Mana gue tahu?” Milo masih sewot, tapi tetap memasukkan satu bungkus tepung ke keranjang yang masih kosong.
“Lha, kamu dari tadi belum dapat apa-apa?” Ben tampak terkejut.
“Ya, iya, gue bacain satu-satu itu tepung. Tetep aja gue bingung.” Milo membela diri.”
“Kan bisa tanya sama kelompok lain! Itu kayaknya habis dari sini, ‘kan?” Ben menunjuk serombongan anak perempuan kelas lain. Di tempat ini, tidak hanya kelompok kami yang berbelanja bahan. Terlihat beberapa anak yang kukenal juga belanja di sini. Kami tadi juga sempat saling menyapa sebelum berpencar.
“Tengsin lah gue!” Milo mengusap tengkuknya. Aku melihat sedikit rona merah di wajahnya.
“Ehem!” Sengaja aku berdeham.
Benar saja, Milo langsung mengalihkan pembicaraan. “Ayo, apa lagi ini?” Dia membaca catatan lagi. “Mentega! Ayo, ke sana!”
Milo berjalan ke arah yang salah.
“Mil, arahnya di sini!” seruku.
Milo segera berbalik dan berjalan cepat menuju tempat yang kutunjuk. Wajahnya terlihat lebih merah dari sebelumnya. Sepertinya ada satu anak perempuan yang menarik perhatiannya saat kami bertemu mereka.
“Milo naksir Andin, ya? Tadi dia sempat salting, ‘kan waktu ketemu?” bisik Ben sambil cekikikan.
Aku mengangguk dan ikut tersenyum. Ternyata bukan hanya aku yang sedang tertarik pada lawan jenis. Kemudian aku teringat Clara. Setelah proses undian itu, sepulang sekolah, dia sempat menunjukkan isi kertasnya yang bertuliskan “non makanan”.
“Sori, ya. Kalian para cowok harus bikin makanan. Kesetaraan gender lah,” katanya dengan mimik lucu. Aku hanya bisa tertawa saat itu. Sekarang ini, kalau dipikir-pikir lagi, pilihan ini tidak buruk kok. Aku malah menikmatinya.
Aku dan Ben kemudian menyusul Milo. Sam bergabung tak lama kemudian.
“Tepung, telur, minyak goreng, gula. Udah, ‘kan?” Milo mengecek barang di keranjang dengan catatan saat kami sudah mengitari area supermarket selama tiga puluh menit.
Seharusnya tidak butuh waktu selama itu jika aku berbelanja sendiri. Namun, melihat Milo dan Ben berdebat tentang barang yang harus diambil, membuatku tertawa. Milo yang benar-benar awam tentang dunia dapur, bersikeras membaca semua petunjuk yang tertera sebelum memasukkannya ke keranjang. Hal itu membuat Ben keki.