Aku dan Empat Bidadari Reseh

Lirin Kartini
Chapter #24

BAB. 24 - MEMBANGUNKAN SINGA TIDUR

“Jadi, kita bagi tugas aja. Aku lanjutin perhitungan biayanya. Kalian buat analisis sementaranya. Paling nggak, dalam beberapa hari ke depan, semuanya sudah selesai,” kataku sambil menutup buku catatan untuk IEW.

“Oke. Nanti biar gue sama Ben yang bikin presentasinya.” Milo mengajukan diri.

“Aku sisanya aja yang belum selesai, biar aku kerjain,” ucap Sam.

“Nah, kalau gitu, gue balik ke meja dulu. Gue mesti bikin speech buat IEW. Kalau terpilih, ntar gue tampil di acara puncak.” Milo berdiri sambil mengusap hidungnya.

“Mantap, Sob! Keren!” Ben ikut berdiri merangkul leher Milo.

“Lo mau bunuh gue, Ben?” Milo melepaskan tangan Ben lalu berjalan ke bangkunya. Ben mengekor sambil tertawa.

“Ada-ada aja sih mereka,” kataku.

Sam hanya mengangguk. “Ayo, Ez, kita ke aula sekarang.”

Aku bengong sesaat lalu menepuk dahi. Rupanya kesibukan IEW mengalihkan fokusku dari klub basket yang akan mengikuti kompetisi. “Astaga! Hari ini ada klub, ya? Aku lupa nggak bawa baju ganti.”

“Kok bisa lupa?!” semprot Sam. “Padahal hari ini hari yang paling ditunggu.”

“Kamu yang nunggu. Aku mah enggak. Nggak mungkin aku terpilih.”

“Ya, siapa tahu, ‘kan. Bisa aja, ada yang terpilih, tapi nggak mau ikut atau nggak bisa. Percaya diri dikit kenapa sih?”

Bukannya aku tidak percaya diri, tapi aku menyadari kemampuan diri sendiri. Sadar dirilah! Dibandingkan Liam atau Sam, aku tidak ada apa-apanya. Kalaupun terpilih, mungkin hanya akan jadi cadangan saja.

Aku pikir hari ini akan diadakan seleksi pemain untuk kompetisi, tapi dugaan itu salah. Pelatih bersama Liam sudah menentukan siapa saja yang terpilih, baik itu pemain inti maupun cadangan. Tentu saja Sam terpilih dan sudah berada di tengah lapangan bersama tujuh anak lainnya.

Kurasakan tatapan menusuk dari Liam di tengah lapangan. Mungkin karana aku datang masih dengan mengenakan seragam. Atau karena sebab lain? Seketika pembicaraan Liam dengan Clara yang sengaja aku curi dengar, menari-nari di benakku, memberi sensasi menyenangkan sekaligus mengerikan. Bulu kudukku bahkan meremang.

Belum habis aku berpikir dan mencari cara untuk keluar dari jalan yang terlihat suram di depan, pelatih memanggilku. “Ezra!”

Dengan bingung, aku mendekat pada kerumunan pemain yang terpilih. Sam tersenyum gembira menyambut kedatanganku sambil mengacungkan dua ibu jarinya. “Udah kubilang, kamu pasti masuk,” katanya.

Lihat selengkapnya