Aku menumpahkan rasa mual yang sudah kutahan sejak tadi pada kloset kamar mandi. Kepalaku pun masih pusing dan sedikit ngilu. Tidak kusangka tenaga Liam sekuat itu. Ah, seharusnya kalau aku pintar, aku tidak akan melakukan tindakan bodoh itu. Aku sudah tahu dia bukan orang sembarangan, tapi aku malah nekat mencari gara-gara dengannya.
Membangunkan singa yang sedang tidur semacam ini sungguh merupakan pelajaran berharga untukku. Aku tidak habis pikir, mengapa aku melakukannya. Apa karena kata-kata Clara yang membuatku besar kepala dan membuatku melambung tinggi? Karena dia membelaku?
Oh, Ezra. Apa kamu nggak malu bertingkah seperti itu? Belum tentu Clara melakukannya untukmu. Dasar bodoh! Nggak tahu malu!
Benar. Aku memang bodoh dan tidak tahu malu. Seperti yang Liam ucapkan tadi. Saat tubuhnya perlahan mendekatiku, kakiku langsung mundur. Namun, dia terus memangkas jarak di antara kami sehingga tersisa sedikit.
Aku bisa merasakan seluruh emosi yang ada dalam dirinya saat menatapku dengan tajam. Meski aku menampakkan wajah datar seolah tidak takut padanya, tapi jelas di dalam hati, nyaliku tidak sebesar itu. Jujur saja, jantungku sudah berdegup tidak keruan. Kira-kira apa yang akan dia lakukan padaku?
“Lo jangan senang dulu.” Telunjuk Liam mendorong dadaku hingga aku kembali mundur. Setiap kata yang dia ucapkan membuatku mundur hingga menyentuh dinding. “Kamu cuma orang asing yang bertamu sejenak.”
“Bukannya kamu udah ditolak?” kataku tanpa bisa kucegah, dan sekali lagi aku merutuk kebodohan itu.
“Lo kira gue nggak berani? Dia nggak akan tahu kalau lo nggak bertingkah. Tapi, apa lo mau jadi pengadu? Nggak malu? Oh, kayaknya lo nggak punya malu sih. Kelakuan sodara-sodara lo juga sama aja.”
Darahku seketika mendidih mendengar kakak dan adikku dibawa-bawa. “Jangan bawa-bawa mereka!” Kali ini aku benar-benar marah dan mendorong Liam menjauh lalu memukul wajahnya.
Aku tahu pukulan itu tidak ada apa-apanya bagi Liam. Dia hanya terhuyung sedikit karena kaget. Mungkin tidak menyangka aku berani melakukannya. Aku sendiri juga terkejut hingga sekujur tubuhku gemetar. Aku hanya marah karena dia membawa-bawa keluargaku. Namun, ini salah!
Yah, aku salah! Aku benar-benar sudah melakukan kesalahan karena menyerangnya lebih dulu. Selama ini Liam tidak pernah memukulku, tidak pula melakukan kekerasan secara fisik. Justru akulah yang memulainya sekarang.
Jadi, ketika Liam bergerak maju, aku tidak bisa menghindarinya. Seolah aku tidak punya tenaga lagi, aku pasrah saja ketika kepalan tangannya menghunjam perutku dengan keras. Belum puas, Liam juga menendangku ketika aku tersungkur di lantai aula. Aku hanya bisa meringkuk dan menahan semua rasa sakit itu.
Dari sudut mataku, aku bisa melihat wajah Liam yang memerah, menyamarkan bekas pukulanku yang mendarat di salah satu pipinya. Embusan napasnya terdengar kasar. Dia menatapku sebentar, lalu pergi.
Aku berdiam diri beberapa saat sebelum akhirnya pulang ke rumah dengan susah payah. Beruntung, baik Emily maupun Eiko tidak melihat kedatanganku, sehingga aku bisa menghindari pertanyaan yang mungkin mereka ajukan. Aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapa pun.