Aku dan Empat Bidadari Reseh

Lirin Kartini
Chapter #26

BAB. 26 - DEMAM

Untung saja hari ini akhir pekan, jadi aku bisa santai sejenak sambil beristirahat. Sakit di perutku sudah jauh berkurang. Mualnya pun sudah tidak terasa. Aku pun tidak lekas keluar setelah bangun tidur dan memilih menghabiskan waktu di kamar sambil berselancar di dunia maya. Jika bosan aku akan membaca komik.

Biasanya di hari libur begini aku tidak diharuskan membuat sarapan, kecuali memang diperlukan. Atau ada hal lainnya. Jadi, pagi ini aku bebas berada di kamar hingga matahari sudah tinggi.

Saat aku hendak keluar dari kamar, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk tampak di layarnya. Tanpa sadar aku melempar ponsel saking terkejutnya ketika melihat nama pengirimnya.

Clara!

Selain terkejut, aku juga heran. Aku dan Clara tidak terlalu dekat, yah … karena aku masih belum berani mendekatinya. Selama ini aku hanya mengaguminya dari jauh, meski kadang-kadang terbersit keinginan untuk mengiriminya pesan lebih dulu yang tidak pernah kulakukan. Jadi, ketika nama itu tiba-tiba muncul di ponselku, aku jelas terkejut.

Ada apakah gerangan? Lalu, pikiranku mulai panik. Jangan-jangan Liam cerita kalau aku memukulnya? Oh, tidak! Image-ku di mata Clara pasti hancur. Apalah aku bocah culun ini yang dibelanya, justru menyerang teman kecilnya lebih dulu? Bisa jadi dia tidak terima. Meskipun aku belum bisa memastikan apa hubungan mereka, tapi kemungkinan itu ada. Anggap saja ada yang menyerang Sam, aku mungkin akan bersikap demikian.

Kakiku mondar-mandir di kamar seperti setrikaan sambil menggaruk kepala. Pop-up pesan Clara yang muncul hanya bertuliskan “Halo, Ez. Kamu sibuk, ya?”. Namun, bisa saja itu hanya pesan basa-basi lebih dulu sebelum menuju inti percakapan, bukan?

Ya, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Sungguh, aku seperti orang bodoh, ah aku memang orang bodoh yang melakukan sesuatu tanpa berpikir. Dan ketika akan menerima akibatnya, aku menjadi pengecut yang tidak berani menghadapinya.

Aku menatap layar ponselku sekali lagi. Sudah beberapa menit berlalu sejak pesan itu masuk dan aku masih mengabaikannya. Kemudian, ketika aku memutuskan untuk menerima segala risikonya, pintu kamarku diketuk.

Echa muncul ketika aku membuka pintu. Ekspresinya masih sama anehnya dengan semalam. Hanya saja, kali ini wajahnya sedikit memerah.

“Kenapa, Cha?” tanyaku sambil keluar dari kamar dan menutup pintu,

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Echa malah bertanya balik. “Kak Ez udah nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa kok,” jawabku sambil ke dapur mengambil air minum.

Saat aku menoleh, Echa terlihat buru-buru meletakkan ponselku di meja. Wajahnya terlihat merah. Baru kusadari, sejak kemarin, tingkah anak itu aneh. Aku lalu meraih ponsel dan melihat pop-up pesan Clara sudah tidak ada, padahal aku belum membacanya. Aku menatap Echa yang menundukkan kepala.

“Kamu apain ponsel Kak Ez?” tanyaku.

Gadis itu tidak menjawab. Namun, aku segera mengetahui alasannya. Di fitur percakapan, pesan Clara sudah tidak ada. Ada keterangan pesan telah dihapus.

“Cha, kamu tadi hapus pesan dari teman Kak Ez?” tanyaku lagi. Kali ini dengan nada tegas karena dia telah melewati batas.

Lihat selengkapnya