Sam, Ben, dan Milo bersandar lesu di kursi masing-masing. Wajah mereka tampak lelah dan kusut. Kekecewaan mereka jelas terlihat karena kelompok kami kalah dan tidak terpilih. Aku sendiri sedikit kecewa, tapi tidak menjadikannya beban. Tiga kelompok yang terpilih itu memang layak untuk menang. Satu diantaranya adalah kelompok Liam.
Aku akui pemaparan bisnis Liam sangat bagus, lebih bagus dari Clara menurutku. Bisa jadi karena ini adalah pengalaman IEW-nya yang kedua kali. Namun, entah ini hanya perasaanku saja atau mataku yang salah melihat, ekspresi Liam sangat datar dan biasa. Dia bahkan tidak berkata apa-apa saat kami kembali bertabrakan di pintu keluar. Ah, dia nyaris membuka mulutnya dan matanya melotot ingin marah, tapi urung.
Keanehan apa lagi ini? batinku heran.
“Oi!” Liam memanggil saat aku hendak berjalan lagi.
Aku pun menoleh.
“Setelah IEW, latihan klub Rabu dan Jumat. Kasih tahu Sam,” lanjutnya lalu pergi sebelum aku menjawab.
Aku tertegun beberapa saat. Bukan lagi “anak mami’ atau menyebut namaku dengan benar, kali ini dia memanggil dengan “oi”? Ah, mendadak aku jadi kesal. Percuma saja aku merasa senang karena Liam berubah. Ya, aku SENANG jika dia berubah lebih baik! Sayangnya, harapanku terlalu muluk.
Pepatah jangan berharap terlalu tinggi rupanya sangat tepat untukku. Baru saja dihempas harapan Liam akan berubah, sekali lagi aku dihempas perasaanku sendiri. Amplop pink di tanganku ini penyebabnya. Clara memberikannya padaku beberapa hari setelah pengumuman kelompok terpilih.
“Sori, Ez. Aku baru bisa kasih sekarang. Aku tunggu, ya. Kabari secepatnya,” kata Clara sebelum pergi.
Aku pun bengong dengan wajah memerah dan amplop di tanganku. Sam, Ben, dan Milo yang sejak tadi diam dan mengamati, tidak melewatkan momen ini untuk mengolok-olokku. Mereka bahkan mengatakan itu adalah surat cinta dari Clara.
“Kalau bukan surat cinta, apa dong? Amplop merah muda, wangi, dan dikasih oleh cewek. Fix itu surat cinta!” Milo yang paling heboh sendiri tentang hal itu. Kali ini Ben setuju dengan pendapat Milo sampai melakukan tos segala, sementara Sam hanya senyum-senyum saja. Entah senyum geli atau sedang meledekku.
“Aku pengin tahu dia nulis apa. Mungkin tulisannya “I love you, Ezra” gitu kali, ya!” ujar Ben lalu tergelak diikuti tawa Milo dan Sam. “Buka dong, Ez!”
Tentu saja aku menolak. Jika ini memang surat cinta, aku tidak mungkin membukanya di depan teman-teman. Aku ingin membacanya sendiri di kamar dengan penuh perasaan dan penghayatan. Akibatnya, sepanjang hari itu aku jadi bahan ledekan mereka hingga tidak bisa berkutik lagi.
Sekarang ini, setelah aku berada di tempat teraman dan ternyamanku, aku memandang kertas merah muda dengan motif hati dari amplop berwarna sama pemberian Clara. Perasaanku sangat campur aduk membaca tulisan tangan yang rapi dan indah itu. Sungguh, aku tidak bisa menjelaskanya dengan baik. Aku senang, tapi tidak bisa dibilang bahagia. Tidak senang, tapi aku cukup merasa senang karena aku tersenyum.
Apakah ini senyum bahagia atau senyum geli atau senyum yang kemudian berubah menjadi tawa? Mentertawakan kebodohan diri sendiri setelah membaca surat itu yang ternyata berisi … pesanan Churopop—produk kelompok kami, dari Clara dan teman-temannya.
Aku pun teringat ucapan Clara yang ingin memesan makananku beberapa waktu lalu. Karena kesibukan IEW dan lainnya, dia jadi lupa dan baru memberikannya tadi. Kalimat itu Clara tulis di bagian akhir daftar nama pemesan.