Aku memang selamat dari dua pilihan sulit tadi, tapi aku tidak selamat dari pandangan orang-orang yang menatapku dan empat bidadari yang bukan dari khayangan ini. Ekspresi mereka menunjukkan keheranan yang besar, meski ada yang menganggap ini terobosan baru dalam kebebasan individu. Sekilas aku mendengar pujian yang ditujukan pada mereka, tapi maaf saja, aku sama sekali tidak bangga.
Selain itu, aku juga melihat ada pengunjung yang memotret dan merekam dengan ponsel. Bisa jadi besok atau nanti atau mungkin sekarang, wajahku akan muncul di media sosial. Lagi-lagi, jadi terkenal tanpa kuminta. Parahnya lagi, empat saudariku itu malah berlagak seperti model dengan berganti-ganti pose.
Aku melirik Liam yang sudah kembali ke stannya. Sam, Ben, dan Milo juga bergabung dengannya sambil menonton kami. Sementara itu, dari stan di dekat pintu samping, Clara seperti memberi semangat padaku dengan kedua tangannya. Sayangnya, kali ini aku tidak senang.
“Ada apa ini?” Pak Herman tiba-tiba menghambur masuk dan menghampiri kami. Wajahnya merah dan matanya membelalak saat menyadari penampilan empat saudariku. “Kalian lagi? Bukankah saya sudah bilang kalau—”
“Kenapa, Pak? Ini ‘kan acara bebas. Semua pakai baju sesuai selera masing-masing. Kenapa kami nggak boleh? Kami juga keluarga dari murid di sini lho,” sela Emily dengan berani.
Masalahnya, pakaian mereka masih normal sih, Kak. Aku membatin sedih. Ini bagaikan memutar film lama. Aku seperti mengulang kejadian serupa di masa sebelumnya, tapi dengan jumlah penonton lebih banyak dan rasa malu yang lebih besar.
Aku tidak habis pikir, mengapa mereka tidak belajar dari pengalaman sebelumnya? Mengapa mereka tidak bisa berpakaian normal seperti orang lain? Sepanjang hidupku, mungkin orang lain juga, tidak ada yang datang ke acara sekolah dengan pakaian seperti mereka.
Bayangkan saja. Emily memakai gaun bertali bermotif bunga dan rambut palsu merah menyala. Tak lupa kacamata hitam dan kipas bulu di tangan. Eiko berpenampilan lebih kalem, tapi tetap saja berlebihan dengan gaun satin biru muda model sabrina yang menampilkan bahunya yang mulus. Rambutnya dihias bunga-bunga kecil, yang aku akui membuatnya semakin cantik. Edith dengan gaya tomboinya memakai kemeja oversize lengan panjang dan hotpant. Sedangkan Echa lebih mirip sedang melakukan cosplay dari anime berpakaian pelaut lengkap dengan sepatu boot selutut. Apakah ini yang disebut normal?
Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana rupaku saat itu. Dalam benakku, aku mengkhawatirkan tanggapan orang-orang, terutama pengunjung luar sekolah kami, terhadap nama baik sekolah. Bisa-bisanya ada murid dengan saudara nyentrik dan nyeleneh seperti aku bersekolah di sini. Apakah hal-hal seperti ini diizinkan? Atau hanya sebuah anomali dari sekian banyak makhluk hidup di semesta?
Ah, entahlah. Saat ini tidak ada yang bisa aku lakukan lagi selain diam menunduk dan sedikit menyingkir dari mereka. Agak merepet ke stan Liam yang malah mendorongku kembali maju. Bisa kulihat juga Sam, Ben, dan Milo yang tampak prihatin dengan keadaanku tapi tidak bisa membantu.
Mendapat jawaban dari Emily seperti itu, suara Pak Herman meninggi saat berkata, “Ini di sekolah! Meski ini acara bebas, tetap harus sopan! Jadi kalian—"
Ucapan Pak Herman terpotong saat salah seorang kakak kelas panitia mendatangi beliau dan berbisik, “Maaf, Pak. Acara segera dimulai. Bapak dimohon bersiap.”
Pak Herman tidak bisa menahan rasa kesalnya, tapi harus segera melakukan tugasnya untuk membuka acara. Beliau pun menatap kami satu per satu lalu pergi setelah menghela napas panjang. Kulihat Milo juga mengikuti Pak Herman ke bagian belakang panggung.