Tepat pukul dua belas saat matahari berada di atas kepala, aku tiba di tempat yang sudah kami sepakati. Di tempat yang mirip sentra kuliner ini aku melihat ke sekeliling. Toko dan kedai makanan yang berjejer di sepanjang jalan belum terlalu ramai, mungkin karena cuaca yang cukup panas di siang hari. Berbeda jika malam tiba, jalanan ini akan dipadati pengunjung. Bisa dibilang ini mirip Malioboro di Jawa Tengah, hanya berbeda provinsi saja. Jalan Tunjungan ini berada di Surabaya, Jawa Timur sebagai salah satu ikon tempat wisata dan cagar budaya.
Aku sengaja memilih bertemu di sini karena banyak tempat yang bisa dituju. Selain berjalan-jalan menikmati pemandangan gedung pencakar langit dan juga bangunan-bangunan lama yang masih dipelihara dengan baik, banyak makanan atau camilan yang bisa dicoba di sini. Paling tidak, aku bisa mencari topik obrolan agar tidak canggung.
Kami berjanji bertemu di depan hotel yang cukup bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan negara ini. Eits, jangan salah paham dulu! Dibandingkan bertemu di depan kedai atau toko lain, lokasi ini lebih mudah dicari karena strategis. Dari sini, kami bisa melanjutkan perjalanan ke kanan atau ke kiri.
Aku sedikit berlari ketika mendapati sosok Clara sudah menunggu di sana. Gadis itu memakai celana panjang dan jaket berbahan jins. Baru kutahu dia merangkapnya dengan kaus putih di dalamnya saat dia menoleh dan melambaikan tangan padaku. Kupercepat lari sambil tersenyum. Selain senang karena bertemu dengannya, aku juga menyukai kebetulan yang terjadi saat ini. Pakaian kami senada! Dan, sama-sama memakai topi. Bedanya, aku tidak mengenakan jaket.
“Sori, udah lama?” tanyaku begitu tiba di depannya.
“Nggak juga kok.” Clara menjawab dengan senyuman. Namun, bisa kulihat bulir keringat yang menetes di dahinya. Aku jadi merasa bersalah. Seharusnya aku datang lebih cepat, lalu menyesali pilihan waktu pertemuan kami. Sepertinya hanya orang bodoh yang memilih waktu untuk berjalan-jalan di siang hari yang terik begini, yaitu aku.
“Seharusnya kita ketemu di tempat lain yang teduh, atau mungkin lebih sore. Panas banget ini.” Aku melepas topi dan mengipasi wajahku dengannya. “Kamu nggak kepanasan? Ah, bener-bener salah pilih ini.”
Clara tertawa. “Nggak apa-apa. Ini waktu yang pas kok. Pas ketemu kamu, pas waktunya makan siang. Ayo!” ajaknya lalu berjalan lurus.
Aku mengikuti Clara dan berjalan di sampingnya. Cuaca memang panas, tapi aku tidak memedulikannya. Melihat Clara tersenyum, aku seolah berada di dunia lain yang indah dan sejuk.
Bah! Gombal! Cringe! Cheesy! rutukku dalam hati.
Kami lalu masuk di sebuah tempat yang cukup unik di persimpangan jalan. Gedung bergaya Kolonial Belanda itu telah beberapa kali mengalami alih fungsi dan kini menjadi sebuah Dining Club yang cukup diminati. Aku belum pernah ke sini, tapi sering mendengar orang-orang merekomendasikannya. Yang paling penting, suasana sejuk di dalam menyelamatkan kami.
Aku dan Clara duduk berhadap-hadapan di dekat jendela kaca. Setelah menyampaikan pesanan, kami pun mulai mengobrol. Dari yang awalnya canggung dan hanya basa-basi hingga akhirnya mencair seperti teman lama. Sayangnya pembahasan kami tidak jauh-jauh dari sekolah dan teman-teman, terutama Sam dan Liam. Yah, karena hanya itulah yang menjadi penghubung kami saat ini. Untuk bertanya kehidupan pribadinya, aku jelas tidak enak, karena aku sendiri pun tidak terlalu suka membicarakannya.
Di tengah-tengah percakapan, aku seperti merasa ada yang sedang mengawasiku. Namun, ketika aku mencarinya di seluruh ruangan itu hingga mendongak ke atas, aku tidak menemukan apa pun. Mungkin ini hanya perasaanku saja dan mencoba tidak menghiraukannya.
Aku ingin begitu, tapi saat lagi-lagi merasakan hal yang sama di tempat lain, firasatku mengatakan ada yang tidak beres. Sayangnya, tidak ada petunjuk atau hal-hal mencurigakan yang mendukungnya. Selain itu, aku tidak ingin membuat Clara tidak nyaman dengan terus celingukan ke segala arah, dan ternyata aku telah melakukannya tanpa sadar.