Aku benar-benar berpikir semua masalahku sudah selesai sampai tiba di sekolah. Sam yang bertemu denganku dalam perjalanan ke kelas tiba-tiba menyikutku.
“Gebetanmu tuh.”
Arah pandangku mengikuti telunjuk Sam ke pintu kelas kami. Clara baru saja keluar dari sana sambil tertawa bersama Novi. Mereka berjalan ke arahku.
Seketika aku teringat apa yang terjadi antara aku dan Clara kemarin. Perasaanku kemudian jadi tidak keruan. Aku merasa bersalah pada Clara karena sudah bersikap kasar padanya. Sekarang aku bingung menghadapinya. Seharusnya aku meminta maaf segera, tapi yang bisa kulakukan hanya diam saja saat kami berpapasan.
Kedua mata kami sempat bertemu beberapa detik sebelum dia memalingkan wajahnya dariku dan terus berjalan tanpa menoleh. Kentara sekali kekecewaannya terhadap sikapku kemarin. Dia mungkin menyesal pernah mengenalku.
“Kalian kenapa? Marahan?” Sam heran melihat aku dan Clara tidak saling menyapa.
Baru saja Sam menutup mulut, aku mendengar suara Liam di belakang. Aku pun menoleh dan melihat Liam sudah menggandeng lengan Clara.
“Cla, bisa ikut aku sebentar?” tanyanya. Novi yang ada di samping Clara seolah paham dan meninggalkan mereka.
Yang membuatku terkejut adalah, Clara menurut saja tanpa perlawanan atau omelan yang biasa dia berikan jika Liam memaksanya seperti itu. Tanpa sadar, kakiku bergerak mengikuti mereka. Sam sepertinya juga penasaran karena dia mengekor tepat di belakangku.
Bagian belakang gedung serbaguna lagi-lagi menjadi tempat pertemuan rahasia mereka. Di tempat yang sama pula aku menguping dan mengintip pembicaraan mereka. Bedanya, kali ini ada sepasang telinga lain yang ikut mendengar.
“Cla, aku lihat kamu kemarin,” kata Liam. “Kamu jalan sama anak mami itu.”
Seketika tubuhku membeku di tempat. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Liam mengetahui pertemuanku dan Clara. Apakah Clara yang menceritakannya sendiri, mengingat hubungan “baik” mereka? Namun, dari reaksi Clara yang datar, sepertinya bukan. Itu artinya Liam berada di tempat yang sama dengan kami kemarin, tapi aku—kami tidak melihatnya.
Sam di sampingku memberi tatapan menusuk seolah bertanya, “Kalian kencan?”
Aku memberi tanda agar Sam tidak bertanya-tanya dulu. Percakapan Clara dan Liam ini lebih penting.
“Terus?” Nada suara Clara terdengar datar. Sepertinya dia juga sudah lelah dengan tingkah Liam.
“Kamu dicampakkan dia? Si anak mami itu?”
“Dicampakkan apanya? Aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia.”
“Kenapa kamu masih bela dia sih, Cla? Aku lihat semuanya kemarin. Dia ninggalin kamu, ‘kan?”
Sam kembali menatapku. Kali ini dengan keheranan yang amat besar mendengar semua percakapan itu.
“Bukan begitu ceritanya, Liam. Kamu nggak tahu apa-apa soal itu. Jangan menuduh sembarangan.”
“Lalu, apa yang terjadi?”
“Nggak perlu dibahas. Aku yang salah karena terlalu ikut campur dalam masalahnya.”
“Sialan! Anak itu harus diberi pelajaran!” Liam geram. Dia hendak pergi dengan dua tangan mengepal yang siap memukul, tapi Clara menahannya.
“Liam, jangan! Udah kubilang, itu salahku, Liam! Kamu punya telinga nggak sih? Jangan bikin hariku tambah buruk!”