Liam berdiri di depan Clara seolah tidak ingin aku melihat gadis itu. “Lo mau apa lagi? Dia nggak mau ngomong sama lo! Ayo, Cla, kita pergi aja!” Liam hendak meraih tangan Clara, tapi gadis itu kemudian maju ke samping Liam.
Kini, aku dan Clara berhadap-hadapan. Mendadak aku gugup dan jantungku berdebar.
“Aku mau." Ucapan Clara membuatku terkejut tapi cukup melegakan.
“Kamu masih mau ngomong sama dia, Cla?” Liam berbisik.
Clara menatapku sebentar lalu mengangguk pelan.
“Tapi, Cla ….” Liam tampaknya belum rela, tapi kemudian menghela napas panjang. “Oke. Tapi, kalau dia bikin kamu sedih lagi, aku nggak akan tinggal diam!” tambahnya sambil melirikku sinis.
Liam pun pergi. Sesekali masih menoleh, kemudian menghilang di belokan.
Sekarang, kami berdua hanya mempunyai sedikit waktu sebelum bel masuk berbunyi. Aku harus segera mengatakannya. Namun, hampir dua menit berlalu, kami masih berdiri dalam diam dan menjadi tontonan anak-anak lain yang lewat.
Beberapa kali aku menelan ludah dan menggaruk kepala yang tidak gatal. Sama halnya dengan gadis itu. Dia berdiri menghadapku, tapi kepalanya menoleh ke sana ke mari. Bahkan masih bisa memberi senyuman pada anak-anak yang menyapanya.
Saat aku memutuskan untuk bicara, suara serakku terdengar bersamaan dengan miliknya. “Aku ….” Kami mengucapkan kata yang sama.
Sebelum keberanian itu menguap, aku langsung mengatakannya. “Aku minta maaf!”
Di luar dugaan, sekali lagi kami mengucapkan hal yang sama bersama-sama. Oh, great! Ini semakin membuatku gugup. Namun, tidak berlangsung lama, karena Clara tiba-tiba tertawa. Setelah terdiam beberapa detik, aku pun ikut tertawa.
“Aduh, sampai sakit perutku tertawa terus,” ujar Clara di tengah-tengah usahanya berhenti tertawa.
“Tapi, Cla, aku benar-benar minta maaf yang kemarin. Aku nggak bermaksud ngomong gitu ke kamu. Aku terbawa emosi. Maaf ….” Akhirnya aku mengungkapkan apa yang ada di pikiranku.
“Sama. Harusnya aku nggak ikut campur. Aku memang menyukai keramaian. Berada di antara saudara-saudara yang peduli dan perhatian itu sepertinya menyenangkan. Aku jadi iri.”
“Iya, aku tahu. Makanya aku merasa bersalah. Harusnya aku memahami maksudmu.”
“Berarti kita impas?”
“Hah?”
Clara tersenyum. “Maksudku, ini udah selesai, ‘kan? Kita udah saling mengakui kesalahan masing-masing. Udah minta maaf juga. Apa lagi?”
Aku mengangguk-angguk seperti orang bodoh. “Oh, iya, ya.”
“Itu yang aku suka dari kamu. Kamu orangnya mau langsung mengakui dan jujur.”