Aku dan Empat Bidadari Reseh

Lirin Kartini
Chapter #40

BAB. 40 - MOGOK KERJA

Aku melongok sebentar di kafe Eiko. Dia tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Di antara mereka berempat, aku paling tidak bisa marah dengan Eiko. Bukan pilih kasih, tapi Eiko satu-satunya yang jarang mengusikku. Keterlibatannya tidak terlalu banyak dan biasanya dia melakukannya karena Emily.

Echa sudah memakan nasi goreng yang dia beli tadi, ketika aku masuk. Kulihat dia juga menambahkan sambal dan potongan cabai di piringnya.

“Enak, Cha?” tanyaku dengan niat menggodanya. “Enakan mana sama bikinan Kak Ez?”

Echa tidak menjawab melainkan menyuap nasi goreng itu ke mulutnya. Baru beberapa kali mengunyah, batuk-batuk terdengar. Wajahnya merah. Napasnya megap-megap dengan lidah terjulur dan mata berair.

Situasi itu membuatku segera mengambil air dan menyerahkannya pada Echa. Dia langsung menenggaknya sampai habis. Sambil berusaha menetralkan rasa pedas di lidah, dia mengusap keringat yang bercucuran di kening. Ketika aku mentertawakannya, Echa cemberut.

“Kak Ez jahat banget! Tega sama aku!” semprotnya. Dia lalu meminggirkan semua cabai dan sambal itu dari nasi gorengnya.

 

 

“Lebay, ah! Kak Ez nggak sejahat itu. Bahan makanan semua ada kok, tinggal masak aja.”

“Iya, tapi aku ‘kan sukanya bikinan Kak Ez! Kak Ez udah nggak sayang lagi sama aku! Sebel! Kesel! Bete!” Bibir Echa maju ke depan. Dia tampak lapar, tapi masih kesal padaku.

“Baru juga dibilangin si Bapak, jangan marah mulu, ntar cantiknya hilang.”

“Biarin! Kak Ez ngapain peduliin aku? Sana perhatiin aja cewek biola— si Clara itu!”

Aku tertawa mendengar Echa masih menyebut Clara “cewek biola”. Aku jadi berpikir, bagaimana kalau Clara tahu bagaimana dia mendapat julukan itu. Mungkin juga, saat ini dia sedang tersedak atau tanpa sengaja menggigit lidah, karena sedang dibicarakan.

“Eh, Cha, kamu nggak mau belajar masak gitu? Kak Ez ajarin deh, gratis. Nanti kamu bikinin buat Yogi. Kali aja dia makin kesengsem kalau kamu bisa masak. Gimana?” Aku mulai merayunya.

Aku tahu wajah Echa memerah, tapi dia sengaja menyembunyikannya.

“Nggak perlu. Dia bukan orang yang kayak gitu. Dia itu baik, tahu! Dia suka pinjemin aku komik dan ngajarin pelajaran yang susah. Nggak kayak Kak Ez yang waktunya udah habis buat pacaran! Nggak punya waktu lagi buat aku. Sekarang mogok masak juga! Huh!”

“Oooh … ternyata sekarang kamu juga lebih merhatiin dia, ya … Wah, Kak Ez punya saingan juga rupanya. Kak Ez harus ngalah atau nggak nih?”

“Udah, diem, ah! Orang masih kesel dibecandain mulu!”

Aku tertawa geli. Sebelum masuk ke kamar, aku mengusap-usap puncak kepala Echa. Dia melotot tapi tidak menepis tanganku, kemudian kembali menyantap makanannya.

Echa sudah tidak ada lagi di meja makan saat aku keluar kamar untuk membersihkan diri. Aku juga melihat peralatan makan yang Echa pakai sudah dicuci dan tertata rapi di rak.

Lihat selengkapnya