Aku dan Empat Bidadari Reseh

Lirin Kartini
Chapter #41

BAB. 41 - TERM AND CONDITION

Malam ini, aku keluar dari kamar dan mendapati Eiko dan Edith di ruang makan. Mereka sedang menyantap nasi kotak yang ada di meja.

“Ez, kamu udah makan?” tanya Eiko begitu aku menutup pintu dan menghampiri mereka. “Makan sama-sama, yuk. Edith bawa nasi kotak dari kampus. Masih ada satu nih.”

“Tumben Kak Ed bawa makanan,” kataku sambil duduk dan mengambil makanan itu.

“Iya, ada lebihan. Ada yang nggak ambil. Daripada mubazir, kubawa aja. Bosan juga tiap hari pesan makanan terus. Itu-itu mulu.”

Aku tertawa sambil mulai menyantap makanan itu.

“Kamu sih, Ez, ngapain sih pake mogok segala?” tanya Edith sambil mengunyah.

“Ezra lagi ngambek, Ed,” timpal Eiko sambil terkekeh.

“Aku cuma ingin santai dan libur sejenak. Toh, kalian juga masih bisa makan. Sering pesan makanan yang enak-enak. Rumah jadi lebih bersih karena pakai jasa profesional. Cuciannya juga lebih wangi dari punya kita biasanya.”

“Iya, sih, tapi jadi boros, tahu nggak? Uang sakuku hampir habis karena harus beli makanan terus. Kalau begini, aku nggak punya tabungan untuk keperluan lain.” Edith mengeluh.

“Kak Ei gimana?” Aku beralih pada Eiko.

“Untuk masalah uang sih, di suatu waktu emang ada pengeluaran lebih banyak. Tapi, anak-anak sering bawa makanan dan bagi-bagi, jadi nggak terlalu masalah.”

Anak-anak yang dimaksud Eiko adalah pegawai yang bekerja dengannya. Aku memang pernah melihat mereka membawa makanan sendiri dari rumah atau membelinya secara patungan.

“Tapi, bosan juga sih, sama kayak Edith. Kangen masakanmu, Ez.” Eiko menambahkan dengan wajah memelas. “Kapan kamu selesai mogoknya?”

“Iya, Ez, jangan lama-lama dong! Kasih batas waktu yang jelas. Kalau nunggu Kak Em, nggak tahu sampai kapan kayak gini terus. Kamu ‘kan tahu gimana sifatnya. Beratku sampai naik nih gara-gara beli di luar terus!” Edith memegang kedua pipinya yang memang tampak lebih bulat daripada biasanya.

Aku mengangguk-angguk mendengar curahan hati mereka. “Omong-omong, Kak Em ama Echa mana? Butik belum tutup, ‘kan?” Lalu aku menyadari bahwa kafe juga masih belum tutup, tapi Eiko ada di sini. “Lho, Kak Ei juga kok ada di sini?”

“Orangnya udah di sini dari tadi, kamu malah baru tanya, Ez, gimana sih?” celetuk Edith.

Aku cengengesan sambil berkata, “Baru nyadar.”

“Istirahat dulu. Habis ini aku turun.” Eiko menjawab sambil menutup kotak makannya yang sudah kosong. “Mereka di kamar. Echa katanya belajar untuk ulangan. Kak Em lagi pusing berat. Ya, wajar aja sih. Udah repot urusin butik dan keuangan keluarga, kamunya malah mogok, Ez. Pengeluaran jadi bengkak untuk hal-hal yang nggak perlu,” tutur Eiko.

Kami bertiga diam. Kalau kalian bisa mendengar isi hatiku, sebenarnya aku juga tidak tega. Namun, aku punya alasan untuk melakukannya. Alasan yang selalu aku ajukan, tapi tidak pernah didengar.

“Ya, udah, aku turun dulu.” Eiko berdiri. “Thank’s, Dith,” lanjutnya sambil menunjuk kotak makan di meja.

Edith mengangguk. Eiko pun meninggalkan meja. Namun, sepertinya tujuannya harus tertunda karena Emily muncul di ambang pintu.

“Masuk, Ei. Kita semua perlu bicara.” Kalimat tegas itu membuat Eiko kembali ke tempat duduknya. “Buruan, Cha!” tambahnya sambil mendongak ke arah tangga atas. Setelah itu dia bergegas ke meja makan.

Lihat selengkapnya