Aku dan Empat Bidadari Reseh

Lirin Kartini
Chapter #42

BAB. 42 - HARI PERTANDINGAN

Dengan wajah kaget yang sama, keempat saudaraku kini menatapku. Sekali lagi aku merutuk kebodohan yang kulakukan karena membocorkan rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat. Sepertinya aku terbawa suasana sehingga kelepasan bicara.

Emily tiba-tiba berdiri. Raut muka yang tadinya mengeras, kini mengendur. Tatapannya menyiratkan perasaan bersalah yang sangat dalam. Apa yang dia lakukan berikutnya sungguh membuatku terkejut, dan bukan hanya aku saja. Eiko, Edith, dan Echa bahkan sampai melongo melihatnya.

“Oh, Ezra … kenapa kamu nggak bilang ke aku? Kenapa kamu nggak cerita kalau kami, ah, aku, bikin kamu dapat masalah?” bisik Emily di sela isak tangisnya saat memelukku dan mengelus kepalaku. “Aku nggak pernah tahu, kalau kamu nggak cerita ….”

Aku menelan ludah dan berusaha menahan mata yang mulai berkaca-kaca. “Kak Em udah banyak pikiran, jadi aku nggak mau nambahin beban lagi.”

“Harusnya kamu tetep bilang, Ez ….”

“Kalau aku bilang, apa ada perubahan?”

Emily melepaskan pelukannya. “Tapi, waktu SMP dulu, nggak ada masalah, ‘kan?”

Serba salah aku menjawabnya. Melihat Emily seperti ini sudah membuatku terenyuh. Bagaimana jika dia tahu, bahwa aku sudah mendapat masalah sejak pertama kalinya?

Melihat aku tidak menjawab, sepertinya dia sudah menduganya sendiri. “Jangan-jangan … waktu itu juga ….”

Perlahan, kepalaku mengangguk. Bisa kulihat keterkejutan Eiko, Edith, dan Echa yang tidak mengetahui hal ini sama sekali. Dalam hati, aku mengagumi kemampuanku menyimpan rahasia. Namun, ini bukan hal yang bisa dibanggakan dalam kondisi seperti sekarang.

“Bukan nggak mau cerita. Selain karena nggak mau jadi beban, masalahnya … kalian nggak mau dengar pendapatku. Selalu memaksakan semua keinginan kalian padaku. Padahal aku juga nggak ingin kalian, terutama Kak Em merasa harus bertanggung jawab atas segalanya. Aku udah besar, Kak. Aku juga punya hak untuk bersuara. Yah, intinya, aku nggak mau kalian bersikap berlebihan.” Akhirnya aku bisa mengungkapkan isi hatiku.

Semua terdiam mendengar penjelasanku. Kutatap mereka satu per satu yang selama ini sudah menjaga dan merawatku. Ada sedikit perubahan di raut wajah mereka. Bahkan Echa pun seperti ingin menangis. Aku jadi merasa bersalah. “Maaf, ya, udah ngerepotin kalian semua,” kataku.

“Maafin aku juga, Ez.” Emily kembali memelukku. Kemudian Eiko, Edith, dan Echa ikut memelukku juga.

“Kamu hebat, Ez.” Eiko menepuk-nepuk punggungku.

“Udah dewasa kamu sekarang, ya,” ujar Edith.

“Kalau aku nggak ganggu lagi, Kak Ez masih mau main sama aku, ‘kan?” Echa malah meminta sesuatu yang membuatku mau tak mau mengangguk.

“Memangnya selain Kak Ez, ada yang mau main sama kamu?” Aku sengaja menggoda dan seketika pelukan itu buyar.

Echa melotot dan hendak memukulku sambil berteriak, “Ih, Kak Ez jahat!”

Aku berlari menghindar sambil tertawa, sementara Echa mengejarku mengelilingi ruangan. Kakak-kakakku yang lain hanya tertawa melihat tingkah kami. Demikianlah sejak malam itu, aksi mogok kerjaku berakhir dan sebuah kesepakatan damai telah berlaku.

Aku kembali melakukan tugasku seperti biasa. Keadaan rumah pun aman terkendali. Seragam Echa sudah diantar oleh pihak penatu. Isi kulkas sudah diperbarui. Yang terutama, meja makan di pagi hari sudah terisi oleh makanan favorit penghuni rumah.

Lihat selengkapnya