Wajah lelaki yang berbicara dengan Liam itu tampak tidak asing. Pria dengan garis rahang tegas dan mata tajam menusuk itu tampak kesal, sementara Liam terlihat cuek dan tidak peduli. Sepertinya mereka sedang berdebat tentang sesuatu. Saat aku masih berusaha mengingat-ingat siapakah orang itu, terdengar kata-kata “Bodoh! Dasar nggak tahu diri! Sampah! Seharusnya kau ikut aja dengan pela**r itu!” yang ditujukan pada Liam.
Aku bisa melihat wajah Liam yang memerah dan matanya berkilat murka. Sama seperti pria itu, kedua tangan Liam mengepal. Namun, Liam kalah cepat. Tangan pria itu sudah terangkat dan mendekati wajah Liam.
Kakiku melangkah hendak menghampiri mereka lalu berhenti mendadak. Sam sudah melesat lebih dulu dan berseru, “Paman!”
Seketika tubuhku terpaku di tempat. Paman? Kemudian aku mengamati wajah dua orang itu yang sama-sama memandang Sam dan menemukan kemiripan. Seperti sebuah saklar lampu yang ditekan, aku menemukan jawabannya. Pria itu adalah … papanya Liam?
Rasa penasaran tentang kehidupan Liam yang masih penuh misteri juga sikapnya yang kadang baik, kadang menyebalkan, membuatku mendekat. Mungkin, aku justru penasaran alasan Sam yang memanggil pria itu dengan sebutan Paman.
Sam menyapa lagi. “Halo, Paman. Paman nonton pertandingannya juga tadi?”
Pria itu mengangguk. “Iya, tapi sepupumu ini nggak mau langsung pulang. Padahal kami masih ada urusan lain yang mendesak.”
“Sepupu?” Pertanyaan itu tanpa sadar meluncur dari mulutku. Tahu-tahu aku sendiri sudah berada di samping Sam berhadapan dengan Liam dan pria tak ramah itu. Liam langsung melotot melihat kedatanganku. Aku pun menatap bergantian pada mereka. Sam dan Liam saudara sepupu?!
Otakku segera berpikir cepat, mengingat kembali semua kejadian di masa lalu. Semua pembelaan yang dilakukan Sam untuk Liam. Lalu, Clara juga … apakah dia sudah mengetahuinya? Tiba-tiba saja aku merasa menjadi orang bodoh yang tidak tahu apa-apa tapi seenaknya menuduh sembarangan.
“Siapa lagi ini?” tanya pria itu dengan nada tak suka. Namun, setelah beberapa saat dia berucap, “Oh, kau yang mencetak angka terakhir tadi.”
Aku mengangguk sambil memperhatikan tatapan Sam dan Liam padaku. Aku memang tidak mengerti permasalahan yang terjadi antara Liam dan ayahnya, tapi aku merasa harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa membiarkan Liam dipukul atau mendapat kekerasan lainnya.
“Lo mau apa, bodoh?” hardik Liam saat aku perlahan mendekatinya.
Sam pun ikut mendesis, “Ez, mau ngapain?”
“Maaf, Om, kalau saya lancang dan ikut campur. Tapi, Liam memang nggak bisa langsung pulang sekarang. Kakak saya mengundang semua orang untuk merayakan kemenangan tim kami di tempatnya. Sebagai kapten tim, Liam harus datang. Sam juga. Iya, ‘kan?” Aku menatap Liam dan Sam bergantian.
Sam yang mengerti arah pembicaraanku kemudian mengangguk. “Iya, Paman. Tolong izinkan Liam ikut. Nggak seru kalau Liam nggak ikut. Dia juga sangat berjasa melatih kami untuk pertandingan ini.”
Sosok pria itu diam sebentar tapi raut wajahnya masih terlihat kesal. Kemudian dia mendengkus dan berkata, “Oke. Pastikan dia langsung pulang setelahnya.”