Aku dan Empat Bidadari Reseh

Lirin Kartini
Chapter #45

BAB. 45 - VICTORY

“Kamu seneng, ya?” tanya Eiko ketika aku meminta segelas minuman dingin lagi.

Aku hanya tersenyum membenarkan ucapannya. Yah, aku memang senang melihat semua orang berkumpul di sini dan bersuka cita.

Eiko juga memberikan senyum manisnya, lalu berkata, “Kami sebenernya khawatir kamu susah beradaptasi dan bergaul dengan orang lain. Waktu SMP ‘kan kamu nggak punya temen. Makanya, kami bersikap konyol dan aneh itu biar kamu nggak merasa kesepian dan terhibur. Ternyata, kami malah menyusahkanmu. Maaf, ya.”

Aku sedikit terkejut mendengarnya, tapi kakak keduaku itu rupanya belum selesai bicara. Dia lalu melanjutkan, “Aku cuma mau bilang, Ez, kalau kami selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi, kami akan selalu ada di sini. Jadi, lain kali, jangan sungkan untuk cerita apa pun ke kami.”

Untuk sesaat aku terpana. Kata-kata Eiko seperti menamparku. Apa mungkin selama ini aku juga telah bersikap egois pada mereka? Apa aku merasa sudah cukup hebat karena bisa mandiri di usia sekarang dan melakukan pekerjaan yang belum semestinya kulakukan? Aku merasa sudah cukup mampu mengatasinya sendiri sehingga melupakan bahwa aku masih punya orang-orang yang peduli padaku.

“Iya, Kak. Maafin aku juga karena mogok kemarin,” kataku sambil menerima gelas minuman dari Eiko.

Eiko kemudian menyuruh aku sedikit mendekat padanya. Sambil menunjuk ke arah belakangku, dia berbisik, “Gadis itu ….”

Aku pun menoleh dan melihat Clara tertangkap basah sedang menatapku, tapi Liam mengacak-acak rambutnya sehingga atensinya teralihkan. Atau ini hanya perasaan dan halusinasiku saja?

“Dia … kayaknya dia tertarik sama kamu deh. Dari tadi lihatnya ke sini terus. Sejak kamu datang tadi, matanya nggak pernah lepas dari kamu. Kamu gimana?”

Aku tersedak minuman yang baru saja masuk ke mulutku saat mendengar pertanyaan Eiko. Aku pun mengomel sambil mengusap mulut dengan tisu. “Ah, apaan sih, Kak Ei ini! Jadi, tumpah, ‘kan?”

Eiko hanya tertawa dan menyuruhku berganti pakaian. Aku pun naik dan menemukan Clara berdiri di dekat sofa saat aku keluar dari kamar.

“Clara?” kataku agak terkejut.

“Oh, sori kalau aku lancang ke sini.” Clara hendak berbalik, tapi aku menahanya.

“Nggak apa-apa. Kalau kamu mau lihat-lihat, silakan.” Aku sedikit maju menghampirinya. Namun, ember pakaian kotor yang menumpuk dan berantakan di dekat mesin cuci membuatku melesat dan buru-buru menyembunyikan benda itu. “Anu … maaf berantakan,” kataku gugup.

“Jadi, kalian kalau ngumpul di sini, ya. pasti rame dan seru banget” Clara masih berkeliling melihat ruang keluarga yang bergabung dengan ruang-ruang lainnya. Istilahnya, di sinilah tempat segala kegiatan berlangsung, dari memasak, makan, mencuci, dan lainnya.

“Ya gitu deh.”

“Ini foto mamamu?” Clara tiba di dinding dekat kamarku. Ada beberapa foto lama tergantung di sana. “Kamu mirip sama mamamu, ya?” komentarnya.

“Iya.” Lagi-lagi aku hanya bisa menjawab singkat.

“Tadi kamu sama Liam, gimana? Udah baikan?” Pertanyaan Clara beralih ke topik lain, yang sebenarnya kusesalkan. Mengapa harus ada Liam?

“Entahlah, apa itu bisa dibilang baikan atau enggak. Aku hanya mencoba nggak bikin masalah dengannya.” Aku tidak tahu apakah jawabanku ini bisa dikatakan diplomatis. Jujur saja, aku tidak ingin mengatakan hal buruk tentang orang lain karena tidak ingin terlihat buruk dengan melakukannya. Aku hanya berusaha bersikap netral.

Lihat selengkapnya