“Kenapa laptopnya, Pa? Rusak kah?”
Aku mamandang wajah sang ayah dari jauh—yang terduduk di sofa ruang keluarga dan masih berkutat pada benda bernama laptop. Tumben sekali papa sudah pulang, padahal belum waktunya untuk pulang.
“Mungkin papa pulang tadi malam,” pikirku.
Kepala pria itu terangkat—menoleh mendapati putrinya yang baru saja turun dari tangga dengan celana jeans ketat dan kaos putih tipis dibaluti blazer berwarna mocca serta tas gendong kecil di punggung
“Kena virus kayanya nih, harus Papa bawa ke tukang service,” jawab Papa.
Aku mendekatkan diri di mana papaku duduk, kemudian aku merotasikan bola mata—melirik sebentar lalu mengangguk singkat. Nyatanya memang keadaan laptop papa benar-benar tidak bisa dibilang baik, hanya 40℅ laptop bisa digunakan dengan lancar tanpa terkendali.
“Kenapa nggak beli yang baru aja, Pa,” usulku. Aku mendaratkan pantat di sebelah papa. “Percuma kalau dibenerin, mending buang aja, dilembiru.”
Papa mengerutkan kening tidak paham. “Dilembiru?” tanya papa meminta penjelasan dengan ucapanku.
“Dilempar beli yang baru,” balasku tertekeh kecil.
Aku liat papa menggeleng cepat bertanda tidak akan menggantikan laptop atau pun membuang. “Hust! Jangan bilang gitu. Ini pemberian dari Om Reno sebelum dia meninggal.”
Om Reno.
Aku sangat ingat betul sosok Om Reno. Dia pria berjiwa tegas dan tanggung jawab, buktinya saat orangtuaku bertengkar, om Reno-lah yang selalu mendamaikan papa dan mama. Tapi, sayangnya om Reno sudah meninggal tiga bulan yang lalu karena kecelakaan maut menewaskan om Reno pada saat itu juga. Setahun sebelumnya, aku tau, alasan Om Reno memberikan laptop miliknya kepada keluarga kami karena ia punya keinginan agar aku bisa menjadi penulis novel—meneruskan jejak Om Reno. Dulu aku pernah membuat novel, itu dulu waktu aku kelas satu SMA dan tidak melanjutkan karena penyakit mentalku menjadi penghalang. Maka dari itu, sampai sekarang laptopnya digunakan oleh papa. Dari pada nganggur, 'kan sayang?
“Om Reno pengen kamu lanjutin provesinya jadi penulis,” kata papa tanpa memandangku. Ia masih berkutat pada laptop. “Ta, kamu tau ,'kan cerita karya om Reno udah terkenal.”
“Tapi, Pa. Mama, 'kan pengen aku jadi psikolog. Aku juga dari SMA pengen belajar ilmu psikologi,” balasku cepat.
Papa menghela napas. “Kalau Papa sih, pengen kamu kerja di perusahaan Papa,” ungkap papa sambil memandang wajahku penuh harap. “Gantiin Papa. Kamu ngerti, 'kan? Papa semakin tua.”
Aku menelan savila. Jujur, aku baru pertama kali mendengar sosok papa mengatakan keinginannya. Selama ini, papa tidak pernah menjadi penghalang keinginanku ataupun tidak pernah mempermasahkan masa depanku.
Maaf, Pa. Bukannya Tata nggak mau. Tapi, aku tidak pintar dalam hal berbisnis.
“Suruh aja Kak Freza buat gantiin Papa. Dia juga pinter mengolah bisnis, nggak kaya aku. Yang ada malah gulung tikar kalau aku yang ngelolah.”
Kak Freza, memang pintar dalam segala hal membuatku terkadang iri dengannya. Masih muda tapi sudah sukses dalam bidang bisnis. Usaha bisnis pun dimana-mana dengan berbagai cabang.
Tuk.
Aku mengelus puncuk kepala pelan-pelan karena ada benda yang mengenai kepalaku. “Apa sih, Kak?” tanyaku setelah menoleh mendapati kak Freza di belakangku.
Dalam hati aku bersyukur. Kak Freza menyelamatkanku dari obrolan dengan papa. Aku hanya belum siap membicarakan masa depan.
“Sana berangkat,” ujar kak Freza. Satu alis kanan terangkat. “Udah jam berapa ini?”
Aku tersadar. Bola mataku bergerak ke arah jam tangan yang melingkar pergelanganku menunjukkan pukul delapan pagi, sedangkan kelas kuliah dimulai jam depan lebih tiga puluh menit.
Lho? Aku mengedipkan mata berkali-kali. Seperti ada yang salah. Refleksku ketuk-ketuk kaca jam tangan berkali-kali.
“Astaga! Jam tangan gue mati!” Aku memekik pelan lantas berdiri.
“Nggak sarapan dulu? Padahal Mama udah buatin kamu nasi goreng.” Papa ikut berdiri membuatku berjinjit untuk mencium pipi papa.
Oh ya, mama sudah berangkat kerja waktu subuh. Aku terus memakluminya kalau mama benar-benar sibuk dalam perkerjaannya. Berbeda dengan papa, walaupun sibuk masih meluangkan waktu untukku.
“Nggak, Pa. Ya udah Tata berangkat dulu, dah Papa,” pamitku kemudian berbalik dan berlari kecil mencari pintu keluar. Tiba-tiba suara dari papa menghentikan langkahku.
“Eh ... nggak pamit sama Kak Freza?”
Aku menepuk jidat sendiri, sungguh aku benar-benar lupa. Aku meringis lalu nyengir lebar membuat kawat gigiku terlihat, kemudian mengangkat tangan kiri—menunjukan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf 'V.'