Bandara Soekarno Hatta, 25 Agustus ....
“Welcome, Profesor. Bagaimana rasanya kembali?” ucap gadis berwajah tirus, ia tersenyum hangat—menyambut kedatangan pemuda yang baru saja kembali ke tanah kelahiran, sepulang dari Amerika Serikat.
Dengan wajah datar, pemuda itu tidak memperdulikan keberadaan gadis itu. Ia memilih meninggalkan bandara saat itu juga dan di belakang diikuti oleh seorang wanita cantik berambut pirang, ia sebagai asisten.
“Hey! Profesor. Mau sampai kapan kau mengabaikanku?” teriak gadis itu, tapi tidak mengejar. Karena sadar akan terus diabaikan oleh profesor. “Profesor Na, kalau ada apa-apa, telfon aku, ya!” teriaknya.
Aneh. Meskipun sadar akan terus diabaikan oleh pemuda yang ia panggil Profesor, tetap saja tak henti-henti berlagak dirinya dibutuhkan. Padahal sama sekali tidak direspon oleh Profesor.
Pemuda yang dipanggil Profesor Na tetap berjalan dengan angkuh, kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana membuat aura dingin terpancar dalam sosok jangkung. Walaupun auranya dingin, ia masih mempunyai senyuman ramah khasnya.
Asisten Profesor Na merasa risih dengan teriakan wanita tadi. Ia menengok sebentar ke belakang, memastikan kalau wanita itu sudah menghilang di tempat. Ternyata salah, wanita berwajah tirus masih setia berdiri di sana dengan senyuman lebar dan melambaikan tangan penuh semangat.
“Aku tunggu telfon darimu!”
“Profesor, siapa wanita tadi?” tanya asisten Profesor Na merasa penasaran. “Apakah dia sudah gila? Sepertinya sok kenal dengan Anda, padahal Profesor tidak merespon apapun.”
“Raisa, sopankah kamu menanyakan hal itu kepada saya?” jawab Profesor Na bernada dingin. “Sudahlah, itu masalah pribadi saya,” tambahnya.
Asisten—bernama Raisa—tampaknya kesal mendengar jawaban Profesor Na. Ia lebih memilih membuka ponsel sambil mengikuti langkah Profesor Na.
“Profesor, ada seseorang ingin bertemu segera dengan Anda untuk berkonsultasi.”
“Tunda!”
“Tapi, Profesor Na. Orang itu memaksa bertemu hari ini, tidak ada penolakan.”
Pemuda itu menghela napas pelan. Baru saja pulang sudah mendapatkan pasien baru. Padahal diliat dari wajahnya sangat letih melakukan perjalanan tiga jam—pulang ke Indonesia.
Dengan pasrah, menyita waktu istirahatnya.
“Oke, tolong atur waktunya!”
Dia, Naufal. Seorang Profesor psikolog yang biasa di panggil Profesor Na. Soal umur? Tidak begitu tua, tidak begitu muda dan tidak juga seperti om-om. Ia berumur dua puluh lima tahun. Ilmu psikologi tidak bisa diragukan lagi dan otak jenius membuat siapapun terkagum. Ia juga pernah mendapatkan penghargaan dalam kategori Dokter Psikolog termuda.
Wow.
“Dan, saya mendapatkan e-mail dari Profesor Zafran, teman lama anda. Dia menyuruh anda untuk menggantikan posisinya disalah satu Fakultas Psikologi Jakarta Selatan, yaitu Universitas Andromeda dibagian konseling.”
Pekerjaan baru?
Langkah Profesor Na mendadak terhenti dari pijakannya membuat sang asisten hampir saja menabrak punggung besar Naufal, kalau tidak cepat ikut menghentikan langkah.
Profesor mengambil handstask (seperti sebuah ipad berisikan segala agenda) dan membacanya sendiri. Shit! Hari ini tidak ada jadwal sesi konsultasi dari pasien yang selama ini ia layani selama di Indonesia.
Profesor Na melirik jam arloji berwarna silver. Hembusan napas terdengar setelah mengetahui jarum jam menunjukan pukul delapan pagi. Ia tipe pemuda yang tidak mau menyiakan waktu.
“Siapkan mobil untuk menuju ke Universitas Andromeda. Kita ke sana sekarang!”
****
DRRTTDRTTT
Sebuah panggilan masuk dari ponsel, Profesor Na segera melihat ke layar ponselnya. Nama 'mom' tertera di sana. Tanpa pikir panjang ia menerima panggilan tersebut.
“Hallo Mom?” panggil Naufal dengan suara lemah.
“Kamu sudah pulang ke Indonesia? Pulanglah ke rumah. Jangan ke apartement.” ucap wanita paruh baya disebrang sana.
“Nanti saya akan pulang, sekarang saya ada urusan.”
“Urusan apa? Kamu baru saja pulang dari Amerika. Istirahatlah dulu.”
“Tidak bisa, Mom. Nanti siang saya pulang.”
“Cepatlah, Lea adikmu tidak sabar ingin bertemu denganmu. Merengek terus, katanya kangen sama wajah datar Kak Naufal. Lea benar-benar merindukanmu.”
Naufal tertawa kecil. “Termasuk, Mom?” tanyanya. Perasaan hati mendadak bahagia. Sudah lima tahun meninggalkan Indonesia, beserta keluarganya. Ia benar-benar merindukan adiknya, apakah adiknya masih lucu seperti dulu atau tidak. Pasti bertambah besar.
“Tentu saja, makanya cepatlah pulang. Mom tunggu!”