Dunia seakan asri, tak ada satupun yang saling jauh menjauh. Dirangkul dengan erat dan itu begitu padu. Seakan dunia masih sangat ramah dan berbinar. Cahaya menyambar sangat riang dan angin pun mengiringi. Ya, itu dulu. Sekarang, aku tak tahu. Semenjak itu terjadi, banyak sekali rombakan. Kurasa bukan saatnya aku tuk keluar menuju sekolah. Semua candaan menjadi tabu, kini hanya berita yang kulihat sama. Ribuan bahkan jutaan orang, membuatku menangis mendengarnya. “apa ini sebuah lelucon dari alam? Apa alam sedang menegur kita? Tuhan, kenapa? Kenapa kamu membuat hal sebesar ini?” itulah yang sekarang dibicarakan otak manusia yang hanya mengeluh.
Aku berjalan menuju ruang tamu, lalu menduduki sofa coklat. Melihat hp-ku dan yang kulihat semua sama. Terkadang stress melihat dunia yang sakit. Namun, aku sangat ingin menyalahkan manusia yang bodoh. Mungkin terlihat gila saat aku berkata ‘manusia bodoh’, namun, coba pikirkan. Aku hanya mondar-mandir dari kamar ke ruang tamu, seperti biasa hanya untuk menghibur hati yang gelap. Mencoba memikirkan kemajuan manusia akan masalah ini.
Yang kulihat hanya, mereka masih tak bisa beradaptasi dengan lingkungan sekarang. Dari apapun yang ada, hanya satu yang kukhawatirkan,”apa yang akan manusia lakukan?” banyak yang bersikap sok sehat, namun nyatanya ludas termakan ombak beracun alam. Ada yang mementingkan diri sendiri, namun sayang dia hanya akan membunuh kawannya sendiri. Lalu siapa yang harus disalahkan?.
“Dengarlah wahai kawan-kawanku, kini warna yang terang hangus.”kata seorang puitis. Pernah kutemukan saat kupulang kerumah setelah les menaiki angkot. Ada seorang pengamen yang belum kulihat sebelumnya. Begitu inovatif. Dia tidak bernyanyi untuk uang, melainkan berpuisi untuk uang. “aku adalah uang! Aku tak hidup, namun semua orang menginginkanku. Sampai banting tulang demi aku.” Berpuisi bapak itu.
Dan aku menyadari puisi itu di saat sekarang, banyak yang menaikkan harga demi uang. Banyak orang yang memalsukan harga awal daripada bersikap jujur, hanya demi uang. Disaat krisis pandemic pun mereka masih saja ‘palsu demi uang’. Contohnya saja pada masker.ya… hidup ini penuh dengan kebohongan publik. Yang mereka pikirkan hanya uang untuk kelangsungan hidupnya. Namun tak sadar ada orang yang lebih membutuhkan.
Bahkan tidak menyadari, bahwa para dokter dan perawat bahkan lebih butuh daripada pemalsu harga. Sayang yah? Yang harusnya berkurang yang terjangkit malah tambah banyak karena keserakahan manusia.
Sekarang kita tinggal memilih, antara hidup dan mati. Antara meninggal dengan hormat, atau membunuh tanpa sadar. Rasanya ku ingin bertemu kembali dengan bapak itu. Tapi mungkin bapak itu sudah tak terkenali dari daerahku ini.
“hp ku mana? Ma, lihat hp adek gak?” tanyaku pada ibu. “nih tadi mama habis minjem kalkulator di hpmu. Jangan lupa PR lho.” Ujar mama. Aku membuka hp, dan lagi sama. Berita itu sudah menjadi pandemi. Seakan virus ini sudah mendarah daging disetiap berita, yang membuat orang berpikir akan konspirasi,”apa ini adalah serangan tak terlihat dari perang dunia II?”. Dan ada saja yang percaya tentang teori konspirasi ini. Lalu, salah siapa semua ini melunjak? Apakah teori konspirasi? Ya… kita lihat saja pemikiran manusia.
Apakah kita sudah tahu, apa makna antara hidup dan mati? Ya, mati bisa dalam artian meninggal dengan hormat, tapi bisa juga meninggal akan kebodohannya sendiri. hidup dengan penuh kebijakan, atau malah justru hidup dengan membunuh orang. Kedengarannya cukup mengerikan namun mungkin kita tak sadar dengan kita memborong demi kita sendiri atau “panic buying”.
Aku lelah, resah, bingung dan kecewa. Meringkuk dikasur dengan penuh keheranan akan dunia. Rasanya ku ingin meraung keluar rumah dengan berkata,”berikan kesempatan kami untuk tenang!”.