Ribuan butir air hujan menyambar atap rumahku dengan keras. "Nak, angkatin jemuran!" Itulah yang biasa kudengaar ketika hujan turun. Ya, keluarga kami memang hanya berempat. Tanpa pembantu, dan juga tanpa ayah. Ayahku sudah meninggal hampir satu tahun lamanya, dan sampai sekarang, sisa kata mutiaranya masih bersama kami disetiap saat.
Hal ini yang terkadang membuat bunda mengurai air matanya, yang bisa aku dan kakak-kakak adalah membuat bunda tertawa. Lembut suara khasnya mendebar dan bergelora di hati kami, memberitahu tentang sesuatu yang belum kami pelajari. Kerutan tangan yang melukis kisah cinta dan kasih sayang, wajah nan bersinar tersenyum menyipit mata. Terpampang jelas dimatanya ada harapan kepada anak-anaknya.
Sekali kuheran, apa yang selalu bunda pikirkan, mungkin ribuan lemari dipikirannya selalu bisa menampung curhatan kita. Teratur betul bunda menata semuanya. Kreatifnya seorang bunda yang tak ingin membuat susah anak-anaknya, walau nyatanya sebenarnya dalam hatinya berkata,"bisakah mereka? aku takut mereka kesusahan".
Ya, terkadang pikiran kita tidak selamanya mengerti apa yang bunda pikirkan. Kadang bisa saja perang kata-kata terjadi karena kesalahpahaman. Namun, setelah itu akan saling meminta maaf. Pertengkaran yang berlangsung cepat selesai.
Bundaku adalah seorang guru, dan juga ibu untuk muridnya yang tak mengerti apapun. Semua riang akan kehadirannya. Jiwa ke-ibuannya membuat senang semua murid. Dulu bundaku adalah guru BK, sering menampung curhatan murid. Ada yang senang, dan ada yang sedih. namun sekarang bundaku menjadi guru bahasa inggris dan prakarya. Namun jiwa ke-ibuannya membuat murid-murid hanya ingin curhat kepadanya.
Entah apa yang bunda pikirkan, namun didekatnya aku lebih tenang. Layaknya lagu manis yang diputar berulang-ulang tanpa merasa bosan.