Aku dan Mereka Satu Jiwa

Fiyaseni
Chapter #7

7. Baru menyadari



"Kamu ... Bukan manusia."

Saat aku berbicara seperti itu kepadanya, tiba-tibanya wajahnya berubah menjadi sedih, dan murung, sambil tertunduk.

Aku yang melihat dirinya seperti itu, aku pun langsung menyentuh pundaknya. Dan betapa terkejutnya aku, saat aku menyentuh pundaknya, ia dingin sekali lebih dingin dari es, saat itu aku merasakan bahwa tanganku menjadi beku begitu aku menyentuh pundaknya.

Sontak aku pun langsung menarik tanganku dan sedikit menjauh darinya.

"Maaf, atas ucapanku barusan. Itu membuatmu sedih. Tapi, aku tidak menganggap kamu begitu, kok. Aku tetap menganggap kamu temanku."

"Tapi, apakah kamu menganggapku juga sama seperti apa yang keluargamu itu bicarakan?"

Aku terkejut, bukan lantaran pertanyaannya, tapi aku terkejut karena suaranya yang berubah seketika jadi agak menyeramkan, dengan serak.

Aku tertegun. Terdiam beberapa saat lalu menggeser posisi dudukku agak sedikit menjauh darinya, seraya terus memperhatikannya. Bingung sekaligus takut.

"Em ... Sekali lagi aku minta ma-maaf atas apa yang di ucapan oleh keluargaku itu. A-aku ...."

Aku langsung terkejut, lantaran dia mendongak kepalanya dan menatapku dengan tatapan seram, matanya melotot kearahku dengan berwarna merah menyala.

Sontak aku pun terkejut dan beranjak dari tempat tidurku, aku berusaha untuk menjauh darinya. Dengan perlahan aku pun berjalan mundur kearah pintu keluar kamarku.

Dia terus menatapku dengan kekehan tawa dan raut wajah yang masih seramnya. "Tata ..." Panggilnya dengan nada menggema

Detak jantungku makin berdegup kencang. Aku mencoba meraih pegangan pintu kamarku, tapi sulit sekali. Seperti ada yang memindahkannya, namun beberapa kali aku melirik ternyata masih ada di tempatnya. Sungguh, aku benar-benar ketakutan. Apalagi dia makin mendekatiku.

"A-aku minta maaf. Aku tetap menganggapmu teman," ucapku terbata.

"Tata ...."

"Ta ... Ta ...."

"TATA!"

"Aaaa ...."

Aku teriak histeris dan akhirnya bisa meraih gagang pintu lalu cepat-cepat keluar dari kamarku dengan penuh rasa takut dan juga kepanikan.

Deru napasku naik turun tak beraturan dan keringat dingin mulai bercucuran, sama seperti waktu itu pertama kali aku melihat dirinya. Saat itu aku tidak bisa berkata apa-apa aku duduk dipojokan ruang depan sambil mencoba untuk menenangkan diri. 

'Dia marah padaku?' batinku terucap.

Saat itu selain aku menyangka kalau dia marah padaku, tapi saat itu pula muncul pertanyaan dalam benakku. Apakah dia benar bukan manusia? Tapi, selama ini dia baik padaku. Apa iya, seorang hantu bisa baik pada manusia?

Terlepas dari itu semua, kemunculan dia memang menjadi pertanyaan besar. Dari yang dia tiba-tiba ada di halaman rumahku, bisa masuk.ke kamar dan bermain denganku ketika di sekolah. Kalau di ingat lagi semuanya memang benar-benar tidak masuk akal.

Semu yang di katakan oleh keluargaku sebenarnya benar. Tapi aku yang masih menyangkal hanya karena dia baik dan menologku beberapa kali.

Lihat selengkapnya