Aku Dan Perbedaan

Widhi ibrahim
Chapter #3

BERHARAP KEAJAIBAN

Bandung, 2003

Aku ingin sembuh!

Mungkin itu adalah kata yang sering muncul di dalam benakku. Semakin bertambah usia, aku semakin mengerti keadaanku, lebih tepatnya aku semakin tidak parcaya diri dengan kondisi fisikku, aku malu. Tapi di sisi lain aku juga tak ingin menyerah, karena aku ingin sembuh. Meski kemungkinan untuk kembali normal sangat kecil, tapi harapan masih ada bukan?

“Pak, kita coba yang ini juga ya,” kata Ibuku.

Saat itu Bapak dan Ibuku sedang duduk berdua sambil menonton televisi. Ibu baru saja memperlihatkan selembaran kertas kepada Bapak, yang berisi sebuah iklan tentang tempat pengobatan alternatif yang konon bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Mungkin sudah tak terhitung berapa banyak tempat pengobatan alternatif yang sudah orang tuaku datangi untuk kesembuhanku. Meski tak ada hasil yang memuaskan, namun mereka tidak pernah menyerah untuk kesembuhanku. Seperti saat ini, Ibu sepertinya sangat ingin membawaku ke tempat pengobatan itu. Padahal uang mereka sudah habis untuk pengobatanku selama ini, Bapakku pun saat itu sedang sakit, karena terserang stroke 2 tahun yang lalu. Bahkan 3 kakakku harus rela hanya bersekolah sampai SMP, lalu bekerja demi memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Setidaknya mereka bisa meringankan beban Bapak dan Ibuku. Tapi, Bapak dan Ibu masih belum mau menyerah untuk kesembuhanku.

“Sistemnya gimana Mah?” tanya Bapak.

“Terapi pijat biasa, Pak. Temen Mamah juga ada yang berobat disana. Harganya juga terjangkau Pak. Gimana? Boleh dicoba Pak?” tanya Ibu meminta ijin.

“Coba tanya anaknya dulu aja, Mah. Kan dia yang akan menjalaninya,” jawab Bapak.

“Mau Pak!!!” seruku dari kejauhan sangat berantusias. Aku langsung berlari menghampiri Bapak dan Ibu, karena dari tadi aku memang sengaja menguping obrolan mereka. Sehingga tidak ada alasan untukku menolak ketika Bapak meminta Ibu untuk menanyakan pendapatku, karena aku sangat ingin sembuh.

Waktu itu aku berusia 11 tahun, kelas 6 SD. Dan saat mendengar Ibu akan membawaku mencoba pengobatan alternatif baru lagi, aku sangat bahagia.

“Mudah-mudahan yang ini jodohnya ya, Sayang. Kamu beneran bisa sembuh,” ujar Ibu penuh harap.

Dengan berbagai pengobatan medis juga alternatif yang sudah aku tempuh, aku memang mengalami sedikit kemajuan. Tanganku yang dulu sangat lemah, tidak bisa mengangkat benda berat, tangan kiri ku yang terus mengepal sama sekali tidak bisa aku gerakkan jari-jarinya, tangan yang sama sekali tidak bisa mengangkat ke atas, perlahan menunjukkan kemajuan. Kini ada beberapa hal yang sudah bisa aku lakukan sendiri. Seperti memakai baju sendiri, bisa mengangkat ember kecil berisi air, beberapa jari tangan kiri ku pun sedikit mulai bisa bergerak. Mungkin itu adalah hal sepele dan sangat mudah untuk dilakukan, tapi sangat sulit untuk orang sepertiku. Dan aku baru bisa melakukan semua itu saat usiaku 11 tahun, usia dimana anak-anak lain bisa melakukan banyak hal yang lebih dari apa yang aku lakukan saat itu.

Bahagia? Jelas, meski hanya sedikit, aku bahagia menerima kemajuan ini. 7 tahun aku dalam keadaan seperti ini, dan itu bukan waktu yang singkat untuk bertahan dengan segala keterbatasan. Orang tuaku tidak diam, mereka selalu mencari cara untuk menyembuhkan ku, tapi Tuhan hanya memberinya secara perlahan. Namun aku bersyukur. Setidaknya harapan aku untuk sembuh itu memang ada. Bahkan aku pun kini bisa mengendarai sepeda, sama seperti anak-anak lain. Jadi, aku berharap pengobatan alternatif kali ini, jauh semakin besar dampaknya untuk kesehatanku. Aku hanya ingin bisa beraktivitas normal seperti orang lain, itu saja keinginan terbesar dalam hidupku.

***

“Mah, nanti di dalem bakal diapain?” tanyaku, ketika duduk di ruang tunggu bersama Ibu. Sementara dua teman Ibu yang juga mau berobat, duduk di seberang tempat duduk kami, karena posisi kursi yang berhadap-hadapan.

“Dipijit kaya biasa aja kok,” jawab Ibu sambil tersenyum.

Mungkin Ibu ingin menenangkan aku, karena jujur saat itu aku cukup gugup.

Dari beberapa pengobatan alternatif yang sudah kita datangi, memang hampir kebanyakkan menggunakan sistem dipijat. Tapi ada juga yang hanya meminum air yang sudah dikasih doa, dan masih banyak lagi macam lainnya.

“Hhhhhuuuuuhhhhhffffftttt” desahku. Mencoba mengatur nafas yang mendadak tidak beraturan.

Gugup, takut, ragu. Seketika perasaan itu muncul dan semakin menggangguku. Rasanya ingin beranjak dan pergi dari tempat itu. Namun keinginanku untuk sembuh, telah berhasil menahanku di tempat yang mungkin memang bisa membawa kesembuhan untukku.

“Nomor 32,” ujar seorang perempuan remaja yang merupakan petugas di tempat itu. Tempat yang menurutku lebih terlihat seperti sebuah klinik. “Silahkan masuk ke ruangan 2,” sambungnya mempersilahkan kepada aku dan Ibu dengan ramah.

“Yuk sayang,” ajak Ibu sambil bangkit dari duduknya.

Lihat selengkapnya