Bukan keinginanku sebenarnya untuk merasakan bahkan beradaptasi dengan tempat baru. Namun setelah lulus SD, aku dan keluargaku harus pindah rumah. Lebih tepatnya pulang ke kampung halaman Ibuku. Tinggal di rumah kontrakan di perantauan dengan kondisi Bapak yang sudah tidak bekerja, karena menderita penyakit stroke, membuat kami cukup kesulitan dalam segi ekonomi. Sehingga mau tidak mau aku dan kedua kakakku harus meninggalkan kota Bandung, tempat dimana aku dilahirkan dan dibesarkan, untuk pulang mengikuti Ibu dan Bapakku. Karena 5 dari 7 kakakku, sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri, sehingga hanya yang masih menjadi tanggung jawab orang tua yang ikut pulang.
Sebenarnya aku ingin menolak. Tapi aku yang memang masih tanggung jawab orang tua hanya bisa pasrah. Bukannya aku tidak mau mengikuti keputusan yang sudah diambil kedua orang tuaku, namun suasana baru nanti yang aku takuti. Mentalku benar-benar belum siap menghadapi tatapan-tatapan aneh orang saat melihat kondisiku, bahkan mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan ketika melihat kondisi fisikku, aku benar-benar belum siap menghadapi semua itu.
Dan benar saja, rasa percaya diriku benar-benar diuji ketika aku masuk SMP di kampung Ibuku. Saat itu rasanya aku tak ingin melanjutkan sekolah, tapi tidak mungkin. Bagaimana masa depan seorang anak yang hanya lulusan SD saja? Dan bagaimana kecewanya Ibu jika aku memutuskan untuk tidak bersekolah hanya karena takut dibully?
Hari pertama masuk benar-benar membuatku malas. Aku yang dulu bersekolah di Bandung, ditambah tidak mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS), jelas membuatku tidak mempunyai kenalan. Selain itu aku tidak punya Nita di sekolah yang baru ini. Aku yakin ini akan sangat berbeda. Tidak akan ada tempat untuk bergantung, tidak akan ada orang yang membantuku ketika aku dalam kesusahan, tidak ada tempat untuk mengeluh, dan aku tidak siap untuk semua itu.
“Yuk ke kantin!” ajak salah satu teman sekelasku, yang saat ini aku pun sudah lupa lagi namanya siapa.
“Iya, duluan aja,” jawabku menolak secara tidak langsung.
Setelah masuk SMP, aku cenderung jadi pendiam. Mungkin karena aku tidak sedang berada di lingkungan orang yang sudah mengetahui bagaimana kondisiku. Sehingga aku berniat untuk mengurangi orang-orang yang tahu kondisi fisikku dengan menyendiri. Aku hanya tak ingin menjawab pertanyaan yang bisa mereka layangkan ketika melihat kekurangan fisikku. Jujur aku malu, jika semakin banyak orang yang mengetahui keadaanku. Aku tidak mau dikucilkan atau malah dikasihani.
“Jangan diem aja di kelas, jangan menutup diri. Kamu sama kaya aku dan yang lainnya juga kok!” kata teman cewek yang duduk tepat di belakang kursiku.
Mungkin dia heran, atau mungkin selama ini memang memperhatikanku. Karena di saat teman-teman lain sudah mempunyai teman dekat, aku masih saja sendiri. Padahal sudah 1 bulan berlalu semenjak aku menjadi seorang siswi SMP, tapi aku belum memiliki teman dekat.
“Iya,” jawabku singkat sambil tersenyum tipis. Aku sama sekali bingung harus mengatakan apa kepada temanku itu.