"Apa kamu mau jagain ponakan kamu sekolah di Bandung?” tanya Ibuku.
Aku masih ingat, saat itu aku berusia 16 tahun. Tepat hampir setahun aku menjalani hidup sebagai anak putus sekolah dan hanya diam di rumah tanpa pekerjaan. Sebenarnya Ibu kembali menawarkan aku untuk meneruskan sekolah, karena memang belum terlambat. Namun, aku tetap pada keinginanku, aku tetap tidak ingin melanjutkan sekolah.
Dan sekitar 2 jam yang lalu, kakak kedua ku yang akan bekerja ke luar negeri menelponku, dan memintaku untuk menemani anaknya yang akan bersekolah SMP di Bandung. Karena orang tuanya yang sudah berpisah, membuatnya tidak akan mempunyai teman jika Ibunya pergi bekerja. Dan Ibu kembali mempertanyakan jawabanku.
“Aku sih mau aja, Mah. Tapi...” aku menghentikan ucapanku, padahal masih ada yang belum aku ungkapkan, namun entah kenapa sulit aku utarakan.
Jujur aku ragu. Aku memikirkan bagaimana hidupku di sana setelah kakakku pergi bekerja. Karena secara otomatis aku menjadi orang yang bertanggung jawab untuk kehidupan keponakanku. Jangankan untuk mengurus orang lain, untuk mengurus diri sendiri saja aku masih membutuhkan bantuan orang lain. Jadi, apa aku bisa hidup jauh dari orang tua? Tapi, tidak ada gunanya juga untukku berdiam diri terus di rumah bersama Ibu dan Bapak, aku hanya akan menjadi parasit yang terus merepotkan mereka. Aku rasa ini saatnya aku belajar hidup mandiri. Setidaknya jika aku pergi ke Bandung, aku bisa mencari pekerjaan dan memiliki penghasilan. Meski aku sendiri tidak tahu, apakah ada pekerjaan yang pantas untuk orang seperti ku?
“Mamah sama Bapak gak akan melarang atau pun memaksa. Kamu putusin sendiri aja. Dan apa pun keputusan kamu nanti, kita akan menghargainya,” ujar Ibu.
Butuh waktu untuk ku memutuskan semuanya. Karena ini bukan untuk sementara, tapi untuk waktu yang cukup lama. Jadi, aku tidak bisa sembarangan dalam mengambil keputusan.
***
Setelah memikirkan segalanya, akhirnya aku memutuskan, jika aku bersedia menemani keponakanku dan tinggal bersamanya di Bandung
Kakakku memang belum memiliki rumah di Bandung, saat itu kami hanya tinggal di kontrakan. Dan baru beberapa hari saja, aku sudah tidak betah, aku ingin kembali pulang dan tinggal bersama Ibuku lagi.
“Mah, aku pengen pulang,” rengekku di sudut pintu kontrakan yang tidak terlalu besar itu.
Aku menangis? Ya. Aku memang sedang menangis. Bukan karena dimana aku tinggal saat itu, tapi karena baru saja aku merasa tidak dipedulikan oleh Kakakku. Yang setahu aku, dia sangat menyayangiku dibanding Kakak-kakak aku yang lain. Saat itu aku baru beres mandi, tapi pada saat aku akan mengambil baju ganti, tidak ada satu pun bajuku di tempat baju yang baru saja diambil dari jemuran.
“Teh baju aku dimana?” tanyaku kepada Kakak ku.
“Cari aja disitu, kan belum dilipet,” ujar Kakakku. Karena memang baju-baju masih berantakan di ujung tempat tidur, belum sempat dibereskan oleh Kakak ku.
Sesuai perintah Kakak ku, aku kembali mencari baju milik ku di tumpukan baju-baju kami bertiga. Tapi tetap saja tidak aku temukan, kalau memang ada, aku pun tak akan menanyakan kepada Kakak ku. Karena aku sudah mencarinya sebelum aku menanyakan kepadanya.
“Gak ada teh,” kataku.