Ini mungkin jawaban yang akan aku berikan, ketika ada orang yang bertanya apa mimpimu?
Sebenarnya, semenjak kecil, aku memang memiliki mimpi yang sangat besar. Aku ingin menjadi seorang dokter. Tapi karena kondisi fisik ku yang memiliki kekurangan, jelas tidak mungkin untuk mewujudkannya. Hingga saat orang lain sibuk mengutarakan mimpi yang ingin mereka wujudkan di masa depan, aku hanya diam. Aku tidak mempunyai mimpi, dan aku tak berani untuk bermimpi. Karena masih bisa bernafas saja rasanya sudah lebih dari cukup.
“Wihhh, mau jadi penulis nih ceritanya,” ledek Ecca.
“Apaan sih,” jawabku.
Aku kembali merebut buku tulis yang Ecca rebut sebelumnya dari tanganku. Saat itu kita sudah bebas, karena baru saja menyelesaikan Ujian Akhir Nasional (UAN). Dan karena sudah tidak belajar lagi, aku dan teman-teman yang lain tidak tahu harus melakukan apa saat berada di dalam kelas. Aku yang tidak tertarik untuk bergaduh seperti yang lain, akhirnya hanya mencoret-coret bagian belakang buku tulis yang masih kosong.
Berawal dari tontonan mini seri yang aku tonton sehari sebelumnya di televisi, yang memiliki ending tidak memuaskan, membuatku menulis ending sendiri di belakang buku catatanku, yang memang masih banyak lembar yang kosong. Belum juga selesai, Ecca yang sama-sama bingung mau ngapain malah merebut buku aku dan membaca apa yang aku tulis.
“Apaan nih?” tanya Ecca.
“Iseng doang kok,” jawabku sambil mencoba merebut buku milikku, namun Ecca berusaha menjauhkannya dariku.
Aku hanya bisa pasrah, saat Ecca membaca tulisan tidak jelas di buku itu.
“Nonton juga kamu,” katanya. Lalu dia tertawa, “Apaan coba bikin ending sendiri,” protesnya pada apa yang sudah aku tulis di buku itu.
“Ya habis aku gak puas sama endingnya,” balasku.
“Sok-sok’an jadi penulis ceritanya. Gak usah ngarep deh,” ledek Ecca lagi.
“Wah ngeraguin. Liatin aja nanti ya,” kataku.
Aku memang tidak tertarik menjadi penulis, karena jujur aku tidak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi entah kenapa semenjak Ecca mengatakan itu, aku malah sering bercanda, seolah-olah memang cita-citaku menjadi seorang penulis.
Seperti saat kita hendak keluar dari kelas, Ecca iseng menandatangani buku tulisan aku tadi. Dan aku malah membalas menandatangani tali tasnya, tak tanggung-tanggung memakai spidol permanen.
“Ihh apaan sih ini, gak bisa dihapus loh!” protes Ecca tak terima.
“Udah, entar mah susah dapet tanda tangan aku. Bagus kan? Biar gak kehapus,” candaku.
“So ngartis banget ni anak,” ledek Ecca sambil menggeleng gemas dengan ucapanku.
“Ehh entar kalo aku udah jadi penulis, terus terkenal, seenggaknya kamu udah punya tanda tangan aku duluan kan,” canda ku lagi.