Aku Dan Perbedaan

Widhi ibrahim
Chapter #11

PERJALANAN CINTAKU

Siapapun di dunia ini pasti pernah merasakan dicintai atau mencintai, begitu juga dengan aku. Meskipun Tuhan memberikan takdir yang berbeda, tapi Tuhan masih memberikan kesempatan yang sama untukku merasakan cinta.

Bahagia rasanya. Karena aku pikir orang seperti ku tidak akan merasakan indahnya jatuh cinta, atau sakitnya patah hati sampai akhir hayatku. Dan ternyata aku harus bersyukur, karena di saat usiaku menginjak 16 tahun, kekurangan fisikku tidak terlalu menonjol. Jadi laki-laki yang menyukai dan menjadi pasanganku pun tidak menyadari, jika aku tetap diam dan tidak pernah menjelaskan kekuranganku. Jadi aku memilih untuk diam, aku hanya ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki pasangan. Karena aku yakin, jika laki-laki itu tahu, dia pasti tidak mau menjadi pasanganku.

Namun, aku bukan tipe pasangan yang baik. Sebab, bisa dikatakan aku malah sengaja mempermainkan perasaan mereka dengan cinta palsu. Ambisiku setelah putus dari pacar pertama adalah memiliki banyak mantan. Dan aku pun tidak pernah menetap pada satu hati, lebih tepatnya tidak setia.

Tidak tahu diri! Katakanlah aku yang masih di usia remaja saat itu memang orang yang tidak tahu diri. Karena, seharusnya aku bersyukur. Sebab masih ada laki-laki yang mau menjadi pasangan orang seperti ku. Tapi apa kalian tahu yang ada di pikiran ku saat itu? Yang memilih untuk bergonta-ganti pasangan? Karena, ketika mereka tahu orang seperti apa aku, aku yakin mereka pasti akan berpikir berulang-ulang kali untuk menjadikan aku pasangan mereka.

Jadi, sebelum aku dicampakkan dan kecewa, aku hanya ingin bersenang-senang. Dengan bergonta-ganti pasangan sesuka hati. Aku memang memanfaatkan parasku yang kata orang-orang tidak terlalu jelek ini. Jadi aku bisa dengan mudah menarik perhatian lawan jenis dengan parasku.

Untung saja ketika masa remaja, dimana anak-anak seusiaku masih mengenakan seragam putih abu-abu dengan kisah cinta mereka, aku juga memiliki kesempatan yang sama untuk merasakan kisah indah cinta di masa remaja. Karena setelah aku beranjak dewasa, hal yang pernah aku takutkan dulu, benar-benar terjadi di masa itu.

Di usia 23 tahun saat itu, aku sedang menjalani hubungan dengan seorang laki-laki yang mencintaiku dan aku pun mencintainya. Dia satu-satunya lelaki yang menyatakan cintanya kepadaku meski dia sudah tahu kondisi ku yang sebenarnya. Dan dia sama sekali tidak mempermasalahkan keterbatasan ku.

Tepat di usia itu, aku dan dia sudah menjalani hubungan selama 5 tahun. Bersama dia, aku banyak berubah. Aku tak lagi bermain dengan bergonta-ganti pasangan. Karena aku sungguh mencintainya. Dan sangat menginginkannya menjadi tujuan terakhir dari kisah cintaku yang cukup panjang.

“Kamu beneran serius kan sama aku?” tanyaku ketika dia sedang berkunjung ke rumah kontrakan ku.

Pertanyaan yang wajar aku layangkan untuknya, mengingat hubungan kita yang memang sudah berjalan cukup lama. Berbagai keadaan, kisah suka, duka, kita telah lalui bersama. Dan sebagai seorang perempuan, aku butuh kejelasan. Bukan aku tidak percaya padanya, atau aku takut dia tiba-tiba pergi meninggalkan ku, tapi karena memang aku ingin kejelasan darinya, sudah, itu saja.

“Kalau aku gak serius, ngapain bertahan sama kamu sampai sekarang,” jawabnya.

“Kalau gitu, kenalin aku sama keluarga kamu!” pintaku.

Kekasihku hanya diam, ketika aku meminta dia untuk mengenalkan aku pada keluarganya, terutama kedua orang tuanya. Hubungan aku dengan dia memang terbilang sudah sangat lama, tapi aku sama sekali belum pernah bertemu kedua orang tuanya. Bahkan berbicara lewat sambungan telepon pun belum pernah. Dia yang sama-sama perantau dari luar daerah, ditambah menjalin hubungan LDR denganku selama 2 tahun, membuat aku tidak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Padahal dia sendiri sudah cukup dekat dengan seluruh keluarga ku, apalagi keponakan ku.

“Kalau ada waktu pasti aku kenalin kamu kok,” jawabnya dengan wajah yang sedikit dipalingkan.

Mungkin dia memang tidak ingin mengenalkan ku kepada keluarganya,” batinku.

Karena itu memang jawaban yang selalu dia berikan, setiap kali kita sedang membahas hal yang sama. Karena jika dia benar-benar ingin mengenalkan aku kepada keluarganya, dia pasti akan meluangkan waktu untuk membawaku bertemu kedua orang tuanya, sesibuk apapun itu, aku yakin. Namun, dia tidak pernah melakukan itu untukku. Sebenarnya banyak pikiran negatif yang bermunculan di dalam kepalaku, hanya saja aku mencoba mengabaikan itu. Aku hanya ingin tetap mempercayainya, dan tidak berpikir yang macam-macam tentangnya.

Hingga akhirnya semua pertanyaan ku atas semua sikapnya selama ini pun terjawab sudah. Saat aku menanyakan hal yang sama, aku meminta dia untuk menceritakan keadaan aku yang sebenarnya kepada kedua orang tuanya. Karena aku tidak ingin ada yang disembunyikan.

“Gimana? Apa kata mereka?” tanyaku padanya. Yang beberapa hari lalu baru saja kembali dari kampung halamannya. “Kamu udah bilang kan?” tanyaku lagi.

Dia pun menganggukkan kepala.

“Terus?” tanyaku sangat penasaran.

“Gak apa-apa. Mereka tidak mempermasalkan itu,” jawabnya.

Aku sangat bahagia mendengarnya. Tapi, mengapa ekspresi wajah yang dia perlihatkan tampak tidak biasa. Seperti tidak puas karena sudah mengatakan apa yang sebenarnya tidak ingin ia katakan.

“Kenapa?” tanyaku mencoba mencari tahu apa yang sedang ia pikirkan. Karena aku yakin dia tidak sedang baik-baik saja dengan ekspresi wajah yang seperti itu.

Lihat selengkapnya