Aku Dan Perbedaan

Widhi ibrahim
Chapter #12

TITIK TERENDAH

Tahun 2017.

Sepertinya cobaan masih enggan pergi dari hidupku. Masih di tahun yang sama, tepatnya 2 bulan setelah putus cinta, Tuhan memberikan ujian terberat dalam hidupku. Dan jujur aku sangat-sangat putus asa saat itu.

“Gejala radang selaput otak, Dok?” tanya temanku yang saat itu menemani aku melakukan pemeriksaan ke dokter spesialis saraf

Beberapa bulan terakhir memang aku merasakan ada yang aneh pada kepalaku. Aku sering merasakan pusing dan sakit yang luar biasa pada kepalaku. Dan aku merasa ini bukan sakit kepala biasa. Aku hanya berani menceritakan keadaanku kepada teman yang sudah aku anggap seperti kakak ku sendiri, aku sama sekali tidak ingin menceritakan kepada keluarga ku, apalagi Ibuku.

Sesuai saran temanku, aku memutuskan untuk mendatangi dokter spesialis. Karena beberapa kali mendatangi dokter umum, mereka hanya mengatakan jika aku terkena MAG. Padahal perutku sama sekali tidak sakit. Namun, aku tiba bisa dengan mudah untuk melakukan pemeriksaan pada dokter spesialis. Biayanya yang pasti mahal, membuatku harus mengumpulkan uang untuk bisa berkonsultasi. Sayangnya sakit ini tidak bisa diajak kompromi, kepala ku semakin sering merasakan sakit, bahkan saat itu hidungku pun mengeluarkan cairan berwarna orange yang berhasil membuatku sangat panik.

Takut terjadi sesuatu yang serius, akhirnya temanku membawaku ke dokter spesialis, dengan menjanjikan pinjaman jika saja uang yang aku punya saat itu tidak cukup untuk membayar biayanya. Dan hasilnya benar-benar membuat aku dan temanku sangat kaget.

“Iya, gejala radang selaput otak. Tapi jangan takut ya. Ini masih gejala kok,” jelas dokter yang saat itu menanganiku.

Tapi nyatanya aku memang takut. Karena penyakit yang menyerangku terbilang penyakit yang cukup serius.

“Apa sebelumnya pernah mengalami penyakit yang berhubungan dengan syaraf di kepala?” tanya dokter itu.

“Iya, Dok. Saat masih kecil, dan ini masih sampe sekarang,” jawabku sambil memperlihatkan tanganku.

Dokter itu malah tersenyum. “Untung kamu cepet periksa, jadi masih bisa dicegah. Sebab, kalau sampai kumat lagi, ini pasti akan lebih parah dari sebelumnya,” ungkap dokter yang berjenis kelamin perempuan itu.

“Jadi masih bisa diobati kan Dok?” tanya temanku.

“Bisa,” jawabnya sangat meyakinkan.

Dan aku sangat-sangat lega mendengarnya.

***

Inginnya aku tetap menyembunyikan semua ini dari keluarga ku, karena aku tidak ingin membuat mereka panik dan khawatir. Apalagi Ibuku, yang kini sudah semakin tua, dan aku tak ingin membebaninya apalagi membuatnya bersedih. Tapi, obat-obatan yang harus aku tebus setiap minggunya terlalu mahal untuk seorang pengasuh sepertiku. Dan aku membutuhkan bantuan dana.

“Udah, mendingan kamu ngomong aja sama kakak kamu!” usul temanku, usai aku mencurahkan seluruh isi hatiku kepadanya.

Lihat selengkapnya