“Ikhlas itu sulit, tapi tidak ikhlas itu sakit, Ref”
Meja makan coklat itu tetap terlihat sama. Meski beberapa sudut kaki nya terdapat bagain yang keropos, tapi berhasil teratasi dengan lapisan semen yang ditempel mengisi lubang. Hanya tinggal di poles cat atau pilok coklat untuk menyamakan warnanya. Satu dari buah kreatifitasnya. Refa tersenyum, terduduk di sudut ruang sambil menatap aneka hidangan di meja tak berkedip.
Kalaulah sebuah ruang bisa berbicara, mungkin ruang makan ini akan bersaksi bagaimana lika-liku perjalanakan kisah mereka selama lima tahun belakangan. Tentang bagaimana dekatnya hubungan yang selama ini telah terjalin, bukan hanya tentang dirinya, tapi juga dengan sang papah. Tentang sebuah masa yang dilalui dengan canda dan tawa bahagia.
Di ruang ini, pernah ada senyum kecut saat mencoba nasi goreng yang ia buat dengan mata tertutup. Sebuah challange seru yang kerap mereka lakukan untuk menghilangkan penat. Atau karena lauk yang sering gosong saat keduanya tengah asyik mengobrol via udara. Juga tentang sepasang manik mata teduh yang selalu tersenyum menyaksikan keduanya menghabiskan makanan khas jepang yang selalu ia masak.
“Sekarang aku nobatkan, makanan favorit aku ini, Ref. Sushi buatan papah. Ini juga deh, yang ini apalagi, eh yang itu ga kalah enak tapi,” ucap seorang laki-laki dengan penuh makanan di mulut, menunjuk satu per satu hidangan yang tersaji di meja.
Refa dan papah tertawa, laki-laki itu selalu mampu membuat suasana menjadi lebih ramai. Satu dari sekian faktor yang membuat ia jatuh cinta berulangkali pada sosoknya.
Refa menghembuskan nafas berat, menatap langit ruang dengan pandangan berkaca. Ia hampir menangis, tapi ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi, sekalipun itu hanyalah setetes. Dengan cepat ia mengusap kedua bola matanya. Menyudahi liarnya pemikiran, yang bisa-bisanya membawanya pada sosok jelema butut itu, dan parahnya hampir menangisi nya. Lagi.
Dari balik pintu kamar yang letaknya tidak jauh dari ruang makan, pak Darma keluar dan berjalan menuju seseorang yang duduk tertunduk di salah satu sudut meja.
“Udah pulang, Ref,” sapa pak Darma dari balik kursi Refa yang spontan menarik sudut bibir, membuat senyuman. Seketika riak wajahnya menjadi lebih ceria.
“Hay, pah. Iya, baru aja sampe nih. Terus aku liat di kamar papah lagi tidur, gak enak Refa bangunin nya.” Refa meraih sebilah tangan pak Darma dan menyalimi nya.
“Kok sendiri? Fahma ga bisa kesini?”
“Ada kok pah, lagi di kamar mandi. Mau ganti baju dulu katanya”
Pak Darma mengangguk kecil. Ia melirik hidangan makanan yang tersaji dibelakang mereka. Riak wajah pak Darma sedikit berganti, tapi dengan cepat kembali seperti biasa. Meski hanya sebentar, Refa sempat melihatnya dan sepertinya ia pun mengerti.
“Eh, Papah tumben masak ini,” tutur Refa memecah keheningan.