“Maaf ya teh, saya batalkan ta’aruf ini.
Ukhti baik, untuk beberapa hal saya merasa cocok,,
tapi saya merasa tidak pede dengan jenjang pendidikan teteh.
Semoga teteh mendapatkan jodoh yang sepadan ya teh. Sekali lagi saya minta maaf.”
Satu email balasan penolakan lagi di pekan ini. Baru lima hari mereka bertukar CV ta’aruf, mempelajari satu persatu keterangan yang tersemat. Menimang-nimang beberapa hal, bahkan termasuk pada pembahasan usia yang terpaut diantara mereka yang selisih 2 tahun lebih tua pihak perempuan. Namun, ternyata mundur karena mengetahui gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu adalah lulusan S2, sedangkan ikhwan itu hanya lulusan SMK. Insecure, mungkin itu namanya.
Refa termenung memegangi layar hp di tangannya. Tidak ada perasaan sedih ataupun kecewa membaca balasan email tersebut. Hatinya beku, ia tidak merasakan apa-apa.
Setahun terakhir, Refa mencoba untuk bangkit dari keterpurukan yang mendera. Mencoba melupakan bayang-bayang kagagalan pernikahan dan pengkhiantan yang dilakukan laki-laki jahat itu. Melanjutkan pekerjaannya sebagai administratif di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang digital syariah. Ia juga mulai aktif mengikuti kajian-kajian hijrah, seminar pra-nikah dan berulangkali mencoba untuk berta’aruf dengan beberapa ikhwan.
Ta’aruf –sebuah proses mengenal yang bertujuan untuk menikah yang diatur berdasarkan ketentuan syariah—telah belasan kali ia lakukan. Namun, selalu saja terhenti di tahapan itu. Paling lama, ia pernah menjalani ta’aruf dengan laki-laki yang lima tahun lebih tua dibanding usia nya, hampir naik tahap khitbah, tapi itu bertahan hanya sampai tiga minggu. Ia memutuskan untuk tidak lanjut karena laki-laki itu mensyaratkan untuk tidak bekerja setelah menikah. Jelas, Refa menolak hal tersebut.
Bekerja di sebuah perusahaan digital syariah terbesar di kota nya, adalah salah satu cita-citanya sejak masa kuliah strata 1. Suasana kantor yang tentram, orang-orangnya yang bersahabat, lingkungan yang menyenangkan dan juga pimpinan yang ramah. Sudah hampir tiga tahun terakhir ia bekerja disana, sejak ia masih menempuh studi S2 nya. Tentulah berat, jika ia harus meninggalkan pekerjaan yang begitu ia cintai ini. Terlebih, karena bekerja di kantor inilah semangatnya untuk menjalani hidup seperti sediakala, kembali.