Aku dan Syawal

Siti Sarah Madani
Chapter #6

Ref, Menikahlah denganku

“Ref, aku serius. Menikahlah dengan ku”

Disebuah bangku taman, mereka duduk sambil memakan eskrim coklat yang mereka beli baru saja. Dari banyaknya kesamaan yang mereka punya, salah-satunya adalah kesukaan mereka akan eskrim coklat. Tidak heran, jika mereka akan selalu menyempatkan waktu untuk menghabiskan eskrim coklat bersama.

“Kemarin jadi jemput kakak kamu, Fah?”

“Jadi kok Ref, makanya kemarin aku izin setengah hari. Soalnya Ayah kan kerja dan ga bisa ditinggal, terus Ibu ga bisa bawa mobil sendiri. Jadinya sama aku deh,” ia menjilat eksrim coklatnya lalu kembali berkata.

“Yaampun, tau gak si Ref. Aku pangling banget. Hampir delapan tahun ga ketemu, eh dia makin glow-up dong. Makin aja aku diledekin anak pungut ini mah,” Fahma tertawa, menertawai dirinya sendiri.

Refa mengangguk sambil tersenyum singkat sebagai respon, dan kembali menyantap eskrim miliknya.

Sejauh yang Refa tau ketika berkunjung ke rumah Fahma, hanya gadis itu yang terlihat agak berbeda. Ayah Fahma tinggi proporsional dengan wajah tirus yang tampan, untuk laki-laki berusia 53 tahun, ayah Fahma terlihat lebih muda dari usianya. Sedangkan, ibu Fahma begitu anggun dengan gamis dan khimar yang selalu ia kenakan. Wajahnya putih bersih, kulitnya terawat. Tampak sangat serasi dengan Ayah Fahma. Ketika berkunjung, Refa selalu betah mengobrol panjang dengannya, karena selain tutur katanya yang menyejukkan, wajah ibu Ratna -ibunya Fahma- selalu membuat siapapun betah memandanginya.

Kakak Fahma pun begitu, meski sama sekali belum pernah melihatnya secara langsung, namun Refa tau dari foto yang pernah ia lihat di rumah Fahma. Laki-laki itu bahkan sudah tampak gagah di usianya yang baru menginjak 18 tahun. Perpaduan antara proporsional sang Ayah dengan paras meneduhkan khas Ibu. Setelah 8 tahun menyelesaikan studi nya di Kairo-Mesir, laki-laki itu pulang ke Indonesia. Refa sedikit penasaran, perubahan pangling seperti apa yang Fahma maksud? Tanpa sadar, ia turut memperhatikan wajah Fahma disampingnya.

Sebenarnya, Fahma tidak berbeda jauh dengan keluarganya yang lain. Untuk gadis usia dua puluh empat tahun, Fahma benar-benar tidak bisa merepresentatifkan usianya. Sebab, ia lebih terlihat seperti gadis berusia 16 tahun yang imut dan menggemaskan. Tubuhnya pun lebih mungil dibandingkan keluarganya yang lain. Mata tajam Fahma khas Ayah, sedangkan senyum manis meneduhkannya bawaan sang ibu. Satu-satunya yang cukup menjadi pembeda adalah pipinya yang chubby. Itu saja. Hal itulah kerap membuatnya merasa berbeda.

Refa kembali tersenyum melihatnya.

“Ref, Refa.. Itu..” tegur Fahma sambil menunjuk seseorang dengan manik mata, tak jauh dari sana. Seseorang itu tengah bersandar di sebuah tembok, menghadap kearah bangku taman dimana ada Refa dan Fahma disana, tiba-tiba ia tersenyum melihat selarik mata Refa yang spontan membesar melihatnya. Seseorang itu mendekat, dan dengan cepat Refa membawa Fahma untuk segera menjauh.



***

Melesat secepat angin, berlari menembus celah ramainya kerumunan, kalau bisa terbang atau menghilang sekalian, pasti sudah tentu mereka lakukan sedari tadi. Tangan kanannya erat menggenggam eskrim yang mulai mencair, berusaha pula agar tetesannya tidak mengenai siapapun yang ia lewati, sedang tangan kirinya sibuk memegang sebilah tangan yang tersemat disana. Ia menggenggam seseorang.

“Ref, pelan-pelan ih”. Lebih tepatnya menarik seseorang.

Refa dan Fahma berlari, menghindari seseorang.

“Ref!!” Refaa!!”

Seseorang itu semakin dekat. Langkahnya yang panjang mampu mengimbangi langkah kecil dua gadis yang justru terlihat lucu, berlari dengan membawa eskrim coklat di tangan. Seperti anak kecil yang berlari karena tidak ingin eskrimnya diminta.

“Fah, ayo! A..ku ga mau kete..mu dia,” pekik Refa sambil terus berlari.

 “Ca..pe, Ref.” Fahma mengeluh, ia ingin sekali berhenti. Toh yang dikejar pun Refa, bukan dirinya. Tapi, ia memilih untuk terus berlari, menemani sahabatnya yang jelas akan memilih menghindar dibandingkan bertemu dengan laki-laki itu.

Sepertinya Refa salah memilih jalur, karena tepat diujung sana, yang ditemuinya adalah ujung gang buntu yang terhalang tembok. Keduanya berhenti, mengatur nafas sesaat lalu kembali dikejutkan oleh sebuah suara dibelakangnya.

 “Kenapa harus lari-lari kayak gitu sih, Ref? Kamu kan tau, aku ga pernah kalah lomba lari sama kamu.”

Lihat selengkapnya