“Refa, bersabarlah sedikit lagi...”
“Jadi cewe itu ga usah pemilih”
“Perawan tua”
“Cieee.. Batal kawin”
“Orang gilaa...”
“Ref, menikahlah denganku”
‘Maafin aku pah—“
Satu per satu gema suara melengking nyaring di gendang telinga Refa. Semuanya seolah seirama memaksa dadanya sesak. Belum lagi fragmen rekam jejak masa-masa sulit terpuruknya tiba-tiba ditampilkan didepan matanya. Ia bisa melihat dirinya sendiri meringkuk diatas kasur, menangis sesenggukan. Keadaannya kacau, gadis yang merupakan dirinya sendiri itu meraung-raung tak jelas, dua kata yang Refa tangkap adalah kata jahat dan pergi yang diucapkan berulang-ulang.
Refa berdiri, menyaksikan dirinya sendiri yang begitu hancur. Hatinya merasa tidak terima, jika ia pernah sebegitunya menangisi Bagas! Refa menggeleng, bahkan mengingat selentingan nama itu saja sudut hatinya tidak terima.
“Hey, Refa!! Stop nangisin dia! Dia sama sekali ga pantas kamu tangisin!” pekik Refa yang meneriaki gadis yang adalah dirinya sendiri.
“Bangkit, Ref!! Bangkit....” pekiknya berulang.
Gadis yang meringkuk itu sekali lagi meraung, berteriak seolah membalas respon yang Refa berikan. Refa menggeleng setengah tak percaya, gadis itu terlihat merasakan kehadiran dirinya disana. Raungan itu semakin kencang, gadis itu mulai meraih benda-benda di sekitarnya lalu melemparnya ke arah Refa berdiri.
“Pergi!!” teriak kencang gadis itu.
Refa berusaha menghindar, meski beberapa kali barang itu mengenai dirinya tapi tidak pernah benar-benar menyentuhnya. Refa seolah tembus pandang.
Sedetik kemudian pintu kamarnya terbuka, papah berlari mendekat, memeluk gadis yang meraung tak terkendali dihadapannya. Tidak ada suara yang keluar dari bibir sang papah, ia hanya mengelus lembut pucuk kepala gadis itu. Ajaibnya, gadis itu langsung terdiam. Ia ikut terpejam dan membalas rangkulan lembut laki-laki paruh baya itu.
Refa menyaksikan itu semua. Setetes air matanya jatuh. Tiba-tiba cahaya terang menerpa. Refa memejamkan mata saking silaunya. Beberapa detik, hingga ia membuka mata dan menyadari bahwa dirinya telah berada di tempat yang berbeda.
Ruangan serba putih dengan bau khas obat-obatan adalah objek pertama yang Refa lihat. Kepalanya berat, matanya berkunang. Membuat ia sulit menggerakkan badannya. Ia memejamkan matanya sekali lagi.
“Refa...” Suara papah. Refa tersenyum dalam pejam, bahkan jika memang ini masihlah di dunia mimpi yang begitu membahagiakan, Refa akan dengan senang hati terbangun demi melihat sosoknya. Satu-satunya laki-laki yang mungkin tidak akan pernah menyakitinya.
Refa membuka mata, menoleh mencari sumber suara. Ada tiga sosok yang langsung menjadi objek pandangnya, Papah, Fahma dan seorang laki-laki yang tidak ia kenal.
“Pah—“ lirih Refa bersuara. Pak Darma mendekat, ia memeluk Refa erat.