“Kak Fa’i, sini deh. Semalam aku beli ini, yang pernah aku ceritain itu di email. Sandwich coklat, kaka harus cobain. Sumpah ini enak banget sih, ayah ibu aja juga suka banget."
Laki-laki itu tersenyum, ia menarik kursi dan duduk bersama di meja makan. Sejak kejadian tas orange di rumah Refa dua hari yang lalu, Kak Fa’i terlihat lebih pendiam. Ia bahkan terang-terangan menghindar jika ditanya alasan kenapa ia malah menitipkan tas orange itu kepada ojek online dibanding mengantarnya langsung. Karena terus menerus didesak, laki-laki itu jadi sebal dengan Fahma dan menolak berbicara dengan adiknya itu.
Jelas Fahma tidak terima dan merasa bersalah, belum sepekan kedatangan kakak yang dirindukannya kenapa justru sikap dingin yang ia terima. Berangkat dari itulah, ia sengaja membeli sandwich coklat kesukaanya itu untuk meluluhkan hati Kak Fa’i. Biasanya dengan cara itu lah yang paling berhasil.
Ayah, ibu dan Fahma telah lebih dulu terduduk disana. Menikmati sandwich coklat dan susu hangat yang Fahma beli semalam. Katanya, itu adalah sandwich terenak yang pernah ia makan. Jika mendapat shift malam seperti kemarin, sandwich coklat menjadi makanan favorit yang mesti wajib di beli nya.
“Makasih ya Fah”
Fahma mengangguk, tersenyum, “Kalo kaka suka, kita bisa beli tiap malam. Buka nya emang cuma tiap malam dan ngantrinya selalu panjang, tapi aku rela kok untuk kakakku ini”
Fa’i, Pak Tio dan ibu Ratna tersenyum menanggapi Fahma. Satu lagi yang membedakan Fahma dengan keluarga kecil itu selain pipi chubby nya, yakni Fahma yang kelewat cerewet dibandingkan dengan anggota keluarganya yang lain.
“Pantas pipi makin kayak bakpau, jajanannya beginian terus tiap malam,” tutur Fa’i yang terlihat mulai mengunyah sandwich kotak itu.
Fahma merungut, wajahnya sengaja ditekuk, “Eh kaka body shimming nih ah, padahal udah senam wajah tiap malam, tau!” Meski demikian, ia senang. Kakaknya sudah mau membalas celotehannya lagi, seperti biasa.
Mereka pun tertawa kemudian. Belum genap sepekan kembali nya Fa’i ke Indonesia, ia sudah sangat terbiasa dengan keadaan meja makan yang selalu ramai dengan tingkah Fahma.
“Ohiya kak, maaf ya untuk yang kemarin, soal—”
Fa’i menyelak, ia memotong ucapan Fahma, “Nanti kita bahas nya ya, jangan di meja makan”. Tidak salah lagi, pasti adiknya itu akan melanjutkan pembicaraan tentang sikap Fa’i yang tidak seperti biasa tempo hari. Fa’i memberikan kode dengan manik mata. Seolah mengatakan Pliss jangan bahas itu lagi, Fah.
Fahma mengangguk kemudian, “Oke. Nanti kita ngobrol ya kak.”
Di sudut yang lain, Pak Tio dan ibu Ratna saling pandang. Seolah pandangan itu mengisyaratkan sesuatu. Lantas kemudian ibu Ratna mengangguk, memberi tanda persetujuan entah atas apa. Mungkin persetujuan untuk berbicara, karena setelah anggukan dari bu Ratna, pak Tio berdeham keras mengawali pembicaraan, membuat perhatian kini tertuju pada nya.
“Emm, Fa’i, Fahma setelah sarapan, ada yang ayah dan ibu mau sampaikan. Bisa luangkan waktu setelah ini, sebentar insyaallah”