Jika dia memang tidak tercipta untuk kamu, sekuat apapun usaha kamu berlari untuk mengejarnya, pada akhirnya dia akan tetap sulit digapai jua. Pun, sama halnya selelah apapun kamu mencoba untuk tetap bersamanya, kalau bukan dia yang tercatat dalam lauhul mahfuz, kamu bisa apa? Sesederhana itu sebenarnya. Namun, sungguh realisisasinya jauh amat sulit. Mati-matian gadis itu berusaha melenyapkan bayang kebersamaan dengan laki-laki yang mengisi harinya lebih dari lima tahun. Tetap saja tidak seutuhnya lenyap. Meski tidak lagi tersisa satupun barang pemberiannya yang ia simpan, entah kenapa seperkian persen otaknya jelas masih menyimpan rapih semua kenangan itu.
Fatal. Kesalahan yang dilakukan laki-laki itu jelas tidak bisa di toleran. Ia menyakiti hati gadis itu, sekaligus mengkhianati komitmen yang dibangun bersama. Namun, apa mungkin karena terlalu membenci ia menjadi sulit melupakan? Apa benar selama ini ia belum jua move on?
Gadis itu menghela nafas panjang. Malam kian larut dan gadis itu tetap terjaga dalam pusaran pemikiran yang membuatnya hampir gila. Atau tepatnya, pernah membuatnya gila. Atau masih?
Gadis itu menggeleng cepat. Ia tidak gila. Ia hanya depresi. Tidak, maksudnya pernah depresi. Jelas, ia sudah sembuh. Harus. Gadis itu lekas berdiri dari posisi duduknya, bergegas mengarahkan dirinya kedepan sebuah cermin yang cukup besar di sudut kamarnya, hingga memantulkan utuh dirinya yang berdiri disana.
Untuk ukuran gadis dua puluh tujuh tahun, gadis itu masih memiliki inner beauty yang memancarkan sejuta aura. Postur badannya tegap, hasil dari working out yang rutin ia lakukan. Garis wajah tegas perpaduan sang papah dan senyum manis almarhum mamah membuatnya memiliki wajah yang nyaris sempurna. Kalau saja ia lebih pandai mengekspresikan diri dengan lebih banyak tersenyum, mungkin akan lebih banyak kesempatan bagi laki-laki untuk mendekati nya. Sayang, dua tahun belakangan hanya orang-orang tertentu yang memiliki kesempatan untuk melihat betapa cantiknya gadis itu ketika tersenyum penuh. Selebihnya, ia hanya akan menarik segaris senyum sebagai respon santunnya, tidak lebih dari itu.
Gadis itu mendekat, hingga ia bisa merasakan pantulan dari hembus nafas nya yang kini membuat cermin mengembun. Mata nya yang bulat, hidung minimalis yang terlihat pas, pipi halus dengan sebuah lekuk yang tercipta jika ia sedikit saja menarik bibir itu dari tempatnya. Cantik. Jemari tangannya bergerak menghapus embun yang tercipta dari hembus nafasnya, membuat pantulan wajahnya menjadi kembali jelas
Fragmen memorinya kembali menari, dua tahun yang lalu, ditempat yang sama, ia pernah begitu marah melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Melemparkan benda ke arahnya berulang, hingga cermin itu pecah dan melenyapkan pantulan atas dirinya sendiri. Setelahnya, ia akan tertawa dan menangis bersaman dengan menetesnya cairan merah kental dari telapak tangannya yang menggenggam erat pecahan kaca. Lalu tersadar saat pelukan papah menenangkan dirinya, kemudian mengobati luka gesekan kaca pada telapak tangannya
Refa membuka telapak tangannya, melihatnya dengan pandangan tanpa ekspresi. Bekas luka itu masih terpahat disana. Dua tahun yang lalu, gadis itu benar-benar hancur. Dunia nya hilang, bahkan ia tidak benar-benar sadar apa saja yang ia lakukan setiap harinya selama setahun dalam keterpurukan, yang ia ingat hanya tangis dan sakit hati yang tak berkesudahan.
Hingga suatu hari, dibatas antara sadar dan mimpi ia didatangi oleh almarhum sang ibu. Sang ibu merasa tersiksa melihat anak gadis nya terus terpuruk dan terus menyalahkan diri atas takdir yang sudah di gariskan Allah. Dalam seingat bayangannya, sang mamah menangis dan mati-matian menyadarkannya bahwa masih banyak orang yang berhak melihat senyuman nya di setiap hari.
“Demi Allah, Refa.. Mamah sedih, mamah gak bisa tenang melihat kamu seperti ini nak. Ref, berhenti menyalahkan takdir yang sudah Allah tetapkan atas kita. Sadar nak, sudahi ini semua. Jalani hidup dengan sebaik-baiknya. Kamu kuat, kamu bisa. Lihat, kamu pantas hidup bahagia, masih banyak orang peduli dan sayang sama kamu nak, bangun.. sadar..”